Tuesday, June 18, 2019

Wafatnya Bu Ani dan Kesedihan Kita yang Lainnya

Seorang ibu negara yang baru saya ketahui bernama asli Kristiani Herrawati itu kini sudah berpulang. Beliau wafat pada usia 66 tahun lebih sebelas bulan, hanya berselang sebulan saja sebelum ulang tahunnya yang ke-67. Wanita yang lebih akrab dipanggil Ibu Ani Yudhoyono tersebut berpulang setelah empat bulan lamanya menjalani perawatan intensif di rumah sakit National University di Singapura. Pada pertengahan Februari lalu, Ibu Ani diumumkan mengidap kanker darah. Dan sejak saat itu, sang suami dengan setia selalu menemaninya.

Mantan presiden kita yang keenam itu terlihat rapuh namun berusaha untuk tegar. Tak bisa ia sembunyikan matanya yang lelah, tapi ia harus tetap kuat dan lebih kuat dari istrinya. Rapuh dan lelah yang ia rasakan jangan sampai membuat sakit istrinya lebih parah lagi. Ia harus memberikan semangat dan seluruh perhatian. Dan begitulah, tepat di sanalah ia berada; di samping istri tercintanya.

Publik pun banyak menyoroti sikapnya yang dinilai sangat kesatria sekaligus romantis itu. Dalam situasi demikian, Pak SBY fokus menjalankan perannya sebagai seorang suami. Banyaknya urusan politik yang harus ia tangani pada saat itu pun tak menggoyahkan perhatiannya pada kondisi kesehatan istrinya. Nampaknya Pak SBY lebih banyak menyerahkan urusan politik Partai Demokrat kepada putra sulungnya yang sekaligus merupakan Kogasma PD, Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY, atau elit partainya yang lain.

Saya tak tahu apakah dalam periode empat bulan ini Pak SBY sempat pulang ke Indonesia atau tidak. Yang saya ketahui pasti, justru malah tokoh-tokoh nasional kitalah yang diberitakan silih bergantian menjenguk Bu Ani ke sana. Padahal, dalam kurun waktu tersebut, kita semua tahu bagaimana panasnya suhu politik di tanah air. Tapi rasa kemanusiaan di atas itu semua. Ikatan koalisi, persaingan politik, atau apapun itu, nyatanya tak menghalangi banyak tokoh dari berbagai pihak dan dari kubu mana saja untuk datang menjenguk serta mendoakan Bu Ani agar lekas kembali pulih.

Bu Ani pun sempat membaik. “Hari ini saya diperkenankan dokter keluar ruangan untuk melihat hijaunya daun, birunya langit dan segarnya udara walau hanya 1-2 jam,” tulis beliau dalam unggahannya di Instagram pada 16 Mei. Nampak dalam foto yang disertakannya itu beliau yang tengah duduk di kursi roda, ditemani dengan setia oleh Pak SBY. Tak lupa, di sana juga terlihat sang menantu, mBak Annisa Pohan. Unggahan tersebut sempat membuat muda-mudi di Indonesia menjadi baper nggak karuan. Campur aduk antara haru, prihatin, sekaligus mupeng dan ikut bahagia mendengar kabar beliau sudah bisa jalan-jalan ke taman—walau masih menggunakan kursi roda.

Tapi ternyata kabar baik itu tak banyak berlanjut. Pada 29 Mei, kondisi Bu Ani kembali kritis dan harus masuk ICU agar mendapat perawatan ekstra. Dan pada akhirnya, kecanggihan teknologi maupun keahlian para dokter masih belum mampu menggagalkan Bu Kristiani Herrawati Yudhoyono menghembuskan nafas terakhirnya pada Sabtu, 1 Juni 2019, pukul 11.50 waktu Singapura.

Air mata keluarga tak terbendung. Ungkapan duka cita seketika meledak di media sosial. Tokoh dari negara lain pun diketahui mengucapkan bela sungkawanya. Bahkan, informasi mengenai wafatnya almarhumah ibu Ani sempat menjadi world trending topic di Twitter. Kepulangannya diiringi doa dari berbagai penjuru dunia.

Dengan begitu, tak diragukan lagi. Dapat kita bayangkan betapa Bu Ani telah menjadi sosok yang luar biasa semasa hidupnya. Bukan “hanya karena” beliau merupakan istrinya Pak SBY dan pernah menjadi seorang ibu negara, tapi kita yakin bahwa beliau lebih dari itu. Banyak kebaikan yang telah beliau lakukan, sehingga bukan hanya di antara keluarga dan kerabatnya semata, kepulangannya itu menyisakan kesedihan dan rasa kehilangan di tengah-tengah kita—masyarakat Indonesia.

Kesedihan yang Lain

Dan tidak cuma di situ. Ada kesedihan lain yang sama beratnya kita rasakan selain sedihnya ditinggal oleh ibu Ani. Yaitu: kenyataan bahwa kita telah gagal menjadi warga negara yang baik.

Bagaimana tidak? Kita, sebagai bagian dari negara kesatuan republik Endonesah, dapat dikatakan telah gagal menghormati dan merawat ibu negara kita sendiri. Sehingga ketika beliau mendera sakit dan membutuhkan penanganan, Pak SBY dan keluarga dibuat repot sampai-sampai harus ke Singapura. Tentu saja hal itu diakibatkan oleh kegagalan kita dalam menyediakan perawatan kesehatan yang baik untuk para tokoh kita. Andai saja teknologi dan SDM kita telah berkelas, barangkali Pak SBY bisa merawat Bu Ani di Jakarta, hingga Mas Agus dan Mas Ibas pun tak perlu repot-repot pulang-pergi ke negeri singa.

Hal lain yang lebih memilukan lagi, keputusan Pak SBY dan keluarga untuk membawa terbang ibu Ani ke Singapura itu dilandasi oleh rekomendasi dari tim dokter kepresidenan RI. Ini menunjukkan kepada kita semua bahwa tim dokter yang berada di istana saja, dalam batas ini mereka tidak bisa percaya terhadap kemampuan dokter lokal sekalipun mereka mau. Maka kemudian, daripada miliknya sendiri, rumah sakit milik orang lain dinilai lebih layak dan lebih pantas untuk dipercayai menangani kesehatan seorang ibu negara. Barang tentu ini bukanlah perihal nasionalis atau tidak, negeri atau swasta, tapi murni soal kompetensi atau kemampuan. Lalu faktanya menjadi sederhana: kita memang tidak mampu. Kita percaya bahwa kita tidak mampu.

Kisah yang mirip pernah terjadi saat kita kehilangan ibu negara yang lainnya, ibu Hasri Ainun Habibie, yang wafat pada tanggal 22 Mei 2010 di rumah sakit Ludwig Maximilians Universitat di Munchen, Jerman. Selain karena—seperti yang pernah diungkapkan oleh Pak Habibie—Bu Ainun masih memiliki asuransi kesehatan yang aktif di sana, tentu saja pilihan untuk terbang ke Jerman sangat masuk akal karena kelengkapan alat dan kualitas para dokternya. Lagi pula, mengapa harus memilih yang lokal dan jelek jika yang jauh dan bagus saja gratis?

Sembilan tahun setelah peristiwa Bu Ainun itu, kita harus kembali kehilangan seorang ibu negara dengan cara yang kurang lebih sama. Jangka sembilan tahun rupanya bukan waktu yang cukup untuk membuat kita belajar dari kesalahan kala itu. Maka disebabkan oleh ketidaktersediaan alat dan tenaga medis yang mumpuni, kita harus menanggung sedih sekaligus malu saat bercerita kepada anak-cucu kelak bahwa kita pernah membiarkan dua ibu negara menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit luar negeri.

Bukan berarti saya berharap agar para tokoh penting itu terjatuh sakit lalu wafat di rumah sakit dalam negeri. Tentu saja maksudnya bukan begitu. Tetapi setidaknya ‘kan, apabila para pejabat dan tokoh nasional sudah pede mengandalkan rumah sakit lokal, itu mengindikasikan jika kita memang telah mempunyai pelayanan kesehatan yang laik serta mumpuni.

Ketersediaan pelayanan yang baik itulah, Sudara-sudara, yang menjadi harapan kita bersama. Sementara itu, kenyataan yang bisa kita saksikan sekarang nampaknya masih jauh dari angan. Barangkali karena hal itu pulalah Pak Prabowo, tokoh capres bertahan kita, harus jauh-jauh pergi ke Austria hanya untuk memeriksa kesehatannya. Atau mBak Incess, seorang tokoh juragan mukena, yang harus melesat diantar jet ke Singapura saat kakinya bengkak tertimpa lemari.

Dan sekali lagi, ini bukanlah khutbah yang muluk-muluk tentang nasionalisme. Bukan. Bukan pula merupakan tuntutan agar para tokoh dan pejabat memaksakan diri menikmati pengobatan yang segini adanya di negara tercinta. Lagi pula, apa masalahnya jika orang-orang seperti Sudara memilih pengobatan yang mahal dan berkualitas? Toh Sudara mampu.

Yang jadi masalahnya adalah: Berapa banyak orang di negeri ini yang menderita penyakit seperti Bu Ani atau Bu Ainun, tetapi tak mampu pergi ke Singapura, Austria atau Jerman? Sementara pengobatan yang tersedia di tanah air ... hemm … apalagi jika berbicara rasio tenaga medis dengan populasi penduduk, atau pemerataan distribusi dokter ke berbagai wilayah … hemm.

-----

Ditulis pada 2 Juni 2019, catatan di atas merupakan naskah asli yang ditambahi sedikit revisi oleh tangan saya sendiri. Tulisan tersebut mendapat koreksi di tangan redaktur dan ditayangkan pertama kali di situs bicarajabar[dot]com. Ia dapat dilihat di sini.