Friday, August 9, 2019

Saya dan "Om Gus" Kiai Ulil Abshar Abdalla

Sejak masih bocah ingusan, saya memang sudah senang ikut-ikutan berkumpul dengan orang-orang yang usianya jauh di atas saya. Saya sendiri juga tak tahu alasannya mengapa. Saya cuma menikmati perkumpulan itu ketimbang bermain-main dengan kawan sebaya. Karenanya, seringkali saya diledek oleh para paman dan bibi dengan sebutan "kobé", atau "kokolot begog", yang artinya "sok tua" atau "sok dewasa". Tapi semua ledekan itu tak membuat saya menjadi berubah.

Barangkali karena level ke-kepo-an saya yang sejak masih kecil itu sudah mencapai tingkat dewa, orang-orang--terutama keluarga--di sekitar saya pun sering dibuat menjadi kesal. Apa pun yang bisa ditanyakan, akan saya tanyakan. Apa pun yang bisa diketahui, akan saya cari tahu. Dan mungkin oleh sebab itu pulalah saya lebih betah bergaul dengan kakak-kakak senior yang lebih tua. Karena dengan berkumpul bersama mereka, akses terhadap pengetahuan mengenai hal-hal baru menjadi lebih terbuka. Saya pun menjadi "pemulung" dan pencuri dengar yang setia.

Tak bedanya dengan hal yang satu ini. Mungkin pada usia sekitar 10 tahunan, saya mencuri dengar dari obrolan para pemuda yang sedang berdiskusi mengenai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia. Tentu saja saya tak banyak paham tentang apa yang mereka bicarakan itu. Atau bahkan tak ada satu pun poin dari diskusi itu yang dapat saya pahami sama sekali. Tapi dari curi dengar inilah saya mendapati beberapa nama tokoh pemikir yang kemudian akan menjadi figur-figur yang saya idolakan di masa mendatang.

Selain tentu saja Gus Dur, Cak Nur, dan beberapa nama raksasa lainnya, nama Ulil Abshar Abdalla dengan JILnya pasti tak bisa dilewatkan. Meski terus terang saja sampai saat ini pun saya masih belum khatam membaca pemikian-pemikiran mereka, tapi perkenalan pertama saya dengan nama-nama tersebut memberikan bekas yang cukup dalam. Nama-nama itu terus terngiang dalam benak saya. Kalau semisal di TV saya melihat ada orang yang berbicara, kemudian di bawahnya ditulis sebuah nama yang saya ingat, saya akan bergumam: "Ooh, ini toh, orangnya.."

Maka ingatan saya terhadap nama-nama tokoh itu pun menjadi terpelihara, meski pada saat itu saya sedang sibuk-sibuknya bergulat dengan PR bahasa Inggris atau Matematika. Dan karena pada masa tersebut saya masih tidak diizinkan untuk membeli dan membaca "buku-buku aneh", hanya boleh membaca buku pelajaran atau komik dan novel, maka kongkow bersama para pemuda itulah yang menjadi sumber dan lapak saya untuk terus mencari tahu tentang sosok-sosok pemikir dan buah pemikirannya. Saya cuma bisa mengandalkan itu, atau sesekali secara sembunyi-sembunyi membaca buku milik mereka.

Dan akhirnya, saya harus mondok. Otomatis obrolan-obrolan "wah" seperti sebelumnya menjadi langka ditemui bagi santri baru semacam saya. Saya "cuma" berjumpa dengan matan Jurrumiyah, Safinah dan Tijan. Namun ketika masa liburan tiba, lalu saya jatuh sakit dan bulak-balik ke RS untuk waktu yang lama, saya bertemu dengan sesuatu yang baru: Twitter. Dari sinilah "penjelajahan" saya kembali dimulai. Saya cari nama-nama top yang saya ingat, lalu memencet tombol "follow" di profil mereka. Hanya saja, pada saat itu jagat burung biru belum seramai dan sebising sekarang. Saya pun cuma menemukan beberapa tokoh saja yang main Twitter-an.

Di antaranya mBah Gus Mus, kiai sepuh yang termasuk golongan "mutaqaddimin" dalam dunia permedsosan, dan tentu saja menantunya, Gus Ulil Abshar Abdalla. Awalnya saya tak tahu bahwa kedua tokoh tersebut memiliki hubungan menantu-mertua. Saya cuma tahu bahwa nama yang disebut belakangan itu merupakan tokoh JIL. Dan atas dasar kepenasaranan saya terhadap beliau dan pemikirannya itu, saya selalu kepo dan anteng mengikuti linimasanya.

Hampir semua cuitannya pada saat itu saya baca. Sebagiannya saya retweet, atau bahkan saya memberanikan diri me-reply. Padahal, sebenarnya saya juga tidak mengerti apa yang beliau omongkan itu. Tapi namanya kepada idola, kalau beliau menulis twit atau kultwit yang saya mengerti sedikit, pasti akan saya retweet. Dan saking mengidolakan dan cerewetnya saya kepada beliau, saya pun tak sungkan untuk bersikap SKSD, hingga menyapanya dengan sebutan "Om Gus". Ketika saya sampai kurang ajar mengirim DM dan meminta folbek, lalu beliau melakukannya, saya teramat girang bahagia.

Pada masa di mana Twitter mulai gaduh dan saya menepi darinya selama bertahun-tahun, akhirnya saya dapat berjumpa kembali dengan beliau Gus Ulil di lapak Facebook--selain dari buku dan video Youtube. Di sini lebih enak dibaca, sebab satu postingan bisa panjang dan karenanya tak usah pusing-pusing scrolling. Bahasa yang beliau gunakan pun dapat lebih lugas dan tematik pada setiap statusnya. Saya pun mengikuti, namun lebih soft dan silent reader karena khawatir beliau akan 'ngeuh' bahwa saya ini adalah bocah polos nan konyol di Twitter itu. Hahaha.

Beliau menulis serial status berisi syarahnya terhadap kitab Hikam. Kemunculan statusnya pada saat itu terjadwal dengan rapi, beliau pun menyebut kuliah/pengajian ini dengan istilah "pesantren virtual". Pada masa selanjutnya, beliau meloncat menciptakan tren baru di kalangan kiai NU yang bermedsos: live streaming pengajian. Kalau tidak salah ingat, barangkali awal mulanya live streaming itu dilakukan pada momen bulan Ramadhan. Namun karena tuntutan para santri, kiai yang mengaku sebagai lurah pondok ini pun melanjutkannya berseri-seri.

Saya pun terus mengikuti, walau belakangan ini seringkali bolos karena tak punya kuota. Hingga kemudian, beliau beserta sang istri mBak Ning Admin Ienas Tsuroiya meluncurkan Kopdar Ihya'. Saya menanti kapan tibanya giliran kopdar tersebut digelar di tempat yang bisa saya jangkau. Saya bermimpi agar beliau bisa menggelar kopdar di Purwakarta, tempat di mana saya tinggal. Namun, apa mau dikata, karena saya--dan beberapa rekan yang pada saat itu memiliki keinginan sama--masihlah bocah IPNU, saya tak bisa berbuat apa-apa selain bersiul usul dan menitip aspirasi.

Ketika mendengar kabar bahwa beliau akan hadir di UIN Bandung, pada Februari 2018 lalu, saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Walau sebenarnya berjarak tempuh agak lumayan, tapi saat itu baru Kopdar Ihya' di Bandung inilah yang masih mungkin saya jangkau. Dan akhirnya, di mesjid UIN Bandung itulah saya dapat berjumpa dengan sang idola setelah sekian lama hanya bisa bersua di dunia maya. Saya pun mendapatkan tanda tangannya plus foto bersama. Hehehe.

Setelah hampir dua tahun berselang, akhirnya Kopdar Ihya' di Purwakarta dapat terlaksana juga. Sepertinya, acara tersebut diinisiasi oleh para aktivis dan tokoh NU di Purwakarta. Saya pribadi sangat gembira mendengarnya. Saya juga senang karena nampaknya Kopdar Ihya' yang digelar tadi malam itu berjalan lancar, tanpa ada hambatan serius seperti isu pencekalan, sebagaimana pernah terjadi di Purwakarta terhadap beberapa tokoh pada bertahun-tahun silam. Saya tidak tahu; apakah tiadanya isu pencekalan ini dikarenakan masyarakat Purwakarta yang semakin terbuka, ataukah karena Gus Ulil datang untuk mengaji Ihya'? Jawaban yang mana saja, tak dapat mengurangi sedikit pun kebahagiaan saya.

Apalagi, beliau bersama istri juga sampai menyempatkan diri untuk bertandang ke rumah kakek saya, Abah Cipulus, untuk bersilaturrahmi. Kabar yang terakhir inilah yang membuat saya semakin senang sekaligus geregetan. Pasalnya, ketika sang idola bisa datang ke Purwakarta, bahkan silaturrahmi ke rumah Abah, saya yang sedang berada di jauh ini cuma bisa nonton via live streaming dan melihat dari foto-fotonya saja... hiks.