Sunday, December 24, 2017

Kabar tentang Segelas Kopi

Ketika sekeping dingin meruncing di awal hari, Segelas Kopi merasakan tubuhnya seperti berada di dalam kulkas. Ia menggigil, sesekali bergelinjang. Ia menengok kanan-kiri, mengawasi setiap sudut, mengerahkan sisa-sisa daya penglihatannya untuk mencari sumber panas. Barangkali, ada sesuatu yang dapat membantunya mengundang hangat. Tapi usahanya itu tak menemui hasil. Ia berpikir keras-keras. Kesimpulannya, satu-satunya cara yang mungkin adalah jika ada sepasang bibir yang sudi mendarat di tubuhnya, meneguknya pelan-pelan, mendapat nikmat darinya, lalu menyisakan hangat untuknya. Tapi bibir yang hangat itu tidak ada! Kalaupun ia berani berharap agar bibir atau benda hangat lainnya ada menghampiri, rasanya pengharapan itu akan nihil. Benda yang semula tiada tidak akan menjadi ada hanya dengan diharapkan. Lagi pula, ia--Segelas Kopi--mengalami trauma dengan yang namanya harap-berharap. Sebabnya, harap terlalu akrab dengan kecewa. Dan ratusan pengalaman mendera kekecewaan itulah yang membuatnya menjadi lebih sulit menggantungkan harapan.

Demikian pula dengan saat ini. Daripada melangitkan harapan ingin dinikmati selagi masih layak; mengharapkan diperlakukan dengan hormat, ia lebih bersiap-siap untuk merelakan dirinya segera kedaluwarsa; menjadi gadis tua yang hilang keperawanannya, diperkosa dengan ganas oleh udara malam khas pegunungan. Kenyataan ini bukannya kurang membuat dada Segelas Kopi menjadi sakit, bukan juga tidak memilukan. Namun bagi Segelas Kopi, setelah rangkaian usaha terlaksana, maka yang terbaik untuk dilakukan selanjutnya adalah menerima. Mengharapkan yang tidak-tidak hanya akan menambah kesakitan itu sendiri. Pengharapan terhadap hal yang tidak ada, pada tahap lanjutnya bisa jadi merupakan pengkhianatan terhadap kenyataan. Dan Segelas Kopi tak mau itu. Ia ingin tetap setia. Meski ia pun tahu bahwa dengan itu, maka ia sendirianlah yang dikhianati. "Bukankah Segelas Kopi--dan begitu juga dengan segelas minuman lain--diseduh dihidangkan dengan tujuan untuk diminum? Maka mendiamkannya setelah dihidangkan adalah sebuah pengkhianatan! Menyelingkuhi fungsi dan guna Segelas Kopi, serta juga menciderai tujuan awal ketika ia hendak dihidangkan." Ujar Pak Erte tak sabar mengomentari.

"Sial betul Dunungan itu!", cacinya meneruskan. "Apa gunanya Kopi diseduh, jika matanya tetap saja tak mampu bertahan?! Apakah rayuan Si Tidur masih terlalu seksi dibanding dengan godaan kepahitan Kopi? Bukankah Si Dunungan itu sengaja menjaganya dari gula, agar kepahitan Kopi tetap terjaga sebagaimana seleranya? Kurang ajar nian!" Demikian gugatannya berkelanjutan. Emosinya meledak. Sebagai penggemar kopi yang fanatik, ada perasaan terhinakan yang meletup-letup dari dalam asanya.

"Itu betul, Pak Erte! Saya juga tidak habis mengerti. Mengapa sebegitu teganya Si Dunungan itu memperlakukan Segelas Kopi? Atau, bahkan, mengapa sebegitu lancangnya Si Dunungan itu mempertaruhkan kelelakiannya sendiri? Kita sebagai kaum lelaki berhak merasa keberatan, Pak Erte! Oknum bajingan macam Si Dunungan yang tak tahu diri itu membuat martabat kita menjadi tercoreng di muka semesta. Bukankah lelaki itu dikenal dengan kepatuhan atas prinsipnya? Dan mendiamkan sesuatu yang sebelumnya diinginkan mati-matian adalah kelakuan yang tak berprinsip! Sama sekali tidak berperi-kelelakian." Kang Ojek pun akhirnya menimpali. Ia tak kalah emosionalnya dari Pak Erte. Lelaki yang sehari-harinya berpendapatan bersih 25.000 rupiah itu terlihat semakin idealis di saat-saat seperti ini. Pendapat yang ia utarakan kadang-kadang bisa lebih tajam daripada pendapatnya orang yang berpendapatan 2,5 juta per jam.

"Dan ketika Kopi dihadirkan di genggamannya, hanya seteguk dua teguk saja ia dicicipi. Padahal belum habis Kopi diminum, tapi moleknya Si Tidur ternyata lebih kuat menggodanya! Menurut Pak Erte, mengapa hal itu bisa terjadi, ya? Hal demikian tak bisa masuk di akal saya. Bahkan, jika memang sejak awal Si Dunungan tak bermaksud mencari melek dengan wasilah Kopi, hal itu tetap tak dapat menjadi alasan untuk mendiamkan Segelas Kopi! Tolong, hargailah!"

"Duh, kira-kira, berita ini sudah menyebar atau belum, ya Kang? Saya jadi waswas juga. Tidak. Saya tidak akan berkomentar lebih dalam lagi. Jika cerita tersebut benar, maka kita sudah sepakat dengan biadabnya kelakuan Si Dunungan itu. Tapi kali ini saya berbicara sebagai pihak bertanggung jawab di RT ini. Saya cemas dengan wartawan. Coba dicek, Kang, apa berita ini sudah viral di media sosial? Bahwa besok pagi saya harus datang menegur dan bersilaturrahmi ke rumahnya, itu betul. Saya memang akan melakukannya demi stabilitas dan marwah RT ini. Saya harus segera bertabayyun dengan Sang Dunungan, lalu mengajaknya dan seluruh kalangan tetangga agar dapat berembuk. Syukur-syukur, gejolak yang akan muncul di lingkaran tetangga sudah dapat redam sebelum para wartawan datang. Kang Ojek sendiri tahu, berita seperti ini sangat rawan diintervensi oleh pihak luar yang berkepentingan."

"Hehehe. Aduh, saya jadi malu, Pak Erte." Kang Ojek meneruskan sambil mesem. Perasaan malunya meluap-luap dari pori-pori wajahnya. "Mungkin inilah yang membedakan Pak Erte dengan kami, warga biasa. Pak Erte yang bertanggung jawab lebih besar, maka penglihatan Pak Erte pun jauh lebih luas. Saya tidak dapat melihat sejauh itu. Saya tidak ingat dengan wartawan serta implikasinya terhadap stabilitas RT ini. Saya hanya menyisakan amarah saja terhadap Sang Dunungan. Padahal, saya juga menyadari bahwa mungkin saja ada hal yang luput dari kabar yang saya terima dari Angin. Saya sendiri tidak sabaran, lantas mengadukan saja kepada Pak Erte lalu mengomentarinya secara berlebihan. Seharusnya saya dapat memberikan kesempatan kepada sangka baik saya agar dapat bekerja. Tapi malah emosi saja yang meledak. Hehehe, saya malu, Pak Erte. Hehehe. Maafkan saya."

"Ah, tidak juga, Kang. Saya justru berterima kasih telah mengabarkan dengan cepat hal-hal yang mengguncang seperti ini. Saya jadi tahu dan bisa melakukan penyelesaiannya dengan segera. Terima kasih sekali, Kang." Pak Erte memungkasi obrolan dini hari itu. Kang Ojek pun pulang setelah Segelas Kopi yang disuguhkan di depannya benar-benar habis. Mereka berdua memang sama-sama penggemar fanatik kopi. Dan Kang Ojek adalah teman lamanya Pak Erte. Lebih lama dari sebutan Ojek dan Erte itu sendiri. Bahkan, lapak akrab dan medan diskusinya sudah berangsur sejak mereka masih remaja.

Sebenarnya, sejak dahulu sampai Pak Erte menjadi Pak Erte, mereka berdua terbiasa ngopi dengan gelas yang sama. Namun, sejak hal-hal baru dan sementara itu ada, maka Kang Ojek berpikir bahwa di antara mereka harus ada jarak barang sejengkal. Itu agar Pak Erte bisa fokus dan amanah dengan jabatannya. Pak Erte pun setuju. Maka Kang Ojek berangkat pulang dengan sumringah. Ia senang tat kala bisa menyaksikan pengaruh besar dari keberhasilannya mengambil jarak itu. Pak Erte memang sedang jadi Pak Erte! Meski sisi emosionalnya masih tersisa, ah, itu manusiawi. Selebihnya, Kang Ojek merasa bangga dengan ke-Pak Erte-an temannya itu.

Dan pada saat pagi itu datang, benar-benar masih pagi, Pak Erte sudah siap untuk berangkat menuju rumah Sang Dunungan. Meski dengan mata yang terlihat lelah, tapi wajahnya segar, peci hitamnya mantap. Perutnya pun sudah diisi sarapan gorengan. Dan ketika ia hendak keluar rumah, di sana tergeletak sebuah surat kabar yang baru saja tiba diantar Tukang Koran. Di sana, di halaman depannya, tertulis dengan jelas dan besar: Kang Ojek Tewas setelah Minum Kopi di Rumah Pak Erte.

-----
Cipulus, 25 Desember 2017

Tuesday, December 19, 2017

Mengundang Penyesalan

Suatu ketika, ada seseorang yang kena marah gara-gara statusnya di Pesbuk. Status yang dianggap sangat kontroversial itu sontak membuat penghuni negeri kenangan menjadi gaduh, membuat langit menjadi biru dan sampai-sampai matahari pun dikabarkan akan tenggelam maghrib nanti.

Seluruh penduduk di negeri kenangan sudah kadung sakit hati. Bukan hanya ngomel-ngomel via medsos, mereka juga menempuh berbagai cara guna membungkam si pemilik status tersebut. Bahkan, berkas penggugatan terhadap si pemilik status telah sampai dan sedang dikaji oleh pengadilan penyesalan.

Sebenarnya mereka tidak mengharapkan si pelaku dipenjara. Hanya memenjarakan si pelaku tidak cukup memuaskan mereka. Mereka ingin lebih. Mengutuknya dengan penyesalan mungkin dapat menjadi obat. Ya, hanya dengan mengirimnya ke jurang penyesalanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatannya itu. Si empunya status dapat mengakui kesalahannya secara tulus, sampai berani menghaturkan sembah maafnya di hadapan publik masa lalu, inilah yang--setidaknya akan sedikit--melegakan perasaan masyarakat kenangan.

Pasalnya, masalah ini sangat serius. Kontroversi yang dimunculkan oleh si pelaku bukanlah sekadar sensasi sembarangan. Tidak seperti penistaannya Ahok yang masih debatable, perkara yang mengguncang negeri kenangan ini sudah menjadi kesepakatan sosial yang universal. Seluruh komponen yang terdapat di masa silam sudah sekomando-sesuara, sejak kepala hingga kaki, mereka sepakat bahwa si terlapor telah bersalah. Oleh sebab itu, maka mereka pun tidak lagi membutuhkan perdebatan semacam ILC.

Meski berkas proseduralnya masih dikaji, pengadilan sosial warga kenangan telah bekerja. Tagline di media sudah seragam dan menyebar secara luas dan rata. Dengan natural, mereka sudah terlanjur menghakimi sang terlapor ini sebagai si pelaku. Maka keputusan rakyat sudah final dan bulat. Keputusan yang akan diumumkan oleh pengadilan hanya dianggap sebagai formalitas belaka.

Tokoh sesepuh yang dikenal amat bijaksana pun sampai tidak mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menunggu keputusan pengadilan itu. Beliau-beliau itu telah memilih untuk bersuara sama dengan masyarakat pada umumnya. Hanya saja, kegaduhan yang terjadi, serta kesepakatan alamiah yang berjalan di sana, tidak sampai membuat para tokoh terhormat itu terinspirasi untuk menggelar bisnis aksi-aksian.

Gelinding penasaran akhirnya mendarat juga di pelataran dada seorang pengamat dari luar negeri. Kira-kira, status Pesbuk macam apakah yang dapat membuat negeri kenangan yang sedemikian tenang itu kini menjadi gaduh dan ramai. Ia pun melakukan penelitian. Dan ketika jarinya sampai ke judul berita yang telah viral di negeri kenangan itu, wajahnya pun memerah menahan amarah; dahinya mengerut; matanya memicing; napasnya hingga tak teratur.

Sekejap kemudian, mulutnya pun tak sabar lagi untuk segera mengomentari, atau tepatnya mencaci maki: "Brengsek nian orang ini! Bajingan betul! Aset agung nan mulia milik negeri kenangan, yaitu mantan, secara ringan dan terang-terangan ia samakan dengan tai, barang bau, hina dan rendahan! Kurang ajar benar! Bersabarlah, duhai warga kenangan, bersabarlah. Sebab, siapa berani merendahkan mantan, maka sesungguhnya ia mengundang penyesalan! Penyesalan akan datang, kunyuk..!!"

----
Perjalanan menuju Ciasem, Subang, 19 Desember 2017

Sunday, November 26, 2017

Jamban; Pelajaran yang Terlupakan

Jamban di sini adalah WC. Sedangkan kata WC merupakan singkatan dari water closet, atau secara harafiah berarti kakus air. Apa itu kakus air? Apakah Anda baru mendengar? Kita sama. Padahal, kakus air itu ya WC itu. Dan ternyata, kita lebih mengenal istilah "WC" yang merupakan singkatan dari bahasa Inggris daripada kata "kakus" yang bahasa Indonesia. Tapi tidak masalah, toh bukan hanya tentang WC, terhadap banyak hal yang "lebih penting" pun kita kerap lebih bangga dengan hal-hal yang berasal dari asing. Juga, kata "closet" yang kemudian diserap menjadi "kloset" telah tercantum dalam KBBI; maka dengan melafalkan kata kloset saja sebenarnya kita telah berbahasa Indonesia dan direstui KBBI.

Selain itu, bahasa kita bahasa Indonesia juga masih memiliki berbagai istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk WC, seperti toilet; jamban; kamar kecil; dan mungkin masih ada istilah lainnya. Artinya, jika dilihat dari titik ini, sebenarnya tingkat penggunaan kita terhadap bahasa nasional masihlah berada pada zona aman, dan tidak menuntut adanya kecemasan yang berlebihan.

Tapi bukan hal itu yang hendak saya bahas di sini. Bukan mengenai nasionalisme dalam berbahasa, sekelumit alternatif istilah, asal mula kata, atau bahkan sejarah penemuan jamban beserta tokoh-tokoh pentingnya. Dan terus terang saja, saya tidak akan membahasnya karena memang tidak tahu, bukan karena tidak ingin atau merasa tidak perlu. Lagi pula, poin yang ingin saya kemukakan di sini tidaklah rumit. Jamban atau toilet yang dimaksud adalah jamban sebagaimana yang kita pahami sehari-hari. Sesederhana itu; tidak ada hal-hal yang aneh bin baru. Dan oleh sebab itu pulalah saya mencukupkan diri dengan pemahaman kita mengenai jamban seperti semula, tidak akan menawarkan definisi baru dan hal tetek-bengek lainnya yang akan memanas-didihkan jagat perdebatan mengenai WC/toilet/jamban.

Lalu, mengapa harus jamban? Ada apa dengan jamban? Jawabannya, ya karena ingin saja. Tidak ada faktor tertentu--ilmiah, rasional, saintifik--yang mendorong saya untuk membahas jamban. Dan juga, pertanyaan "ada apa dengan jamban" terasa lebih enak didengar telinga, karena "Ada Apa dengan Cinta?" sudah dijadikan film oleh Riri Riza. Hmm.

***

Syahdan, kita harus mengakui jamban sebagai suatu entitas penting dalam kehidupan ini. Kehadirannya dalam kehidupan ini sangatlah urgen, tak ubahnya seperti kamar tidur. Namun begitu, nilai-nilai ketimuran seperti sopan-santun; konsep Barat seperti pemilahan ruang privat-publik; seringkali meletakkan jamban hanya di pinggiran. Seperti halnya seks, membicarakannya di panggung publik dianggap sangat tabu. Padahal ia ada. Dan penting. Tetapi karena jarang dibicarakan, perihal urgensinya menjadi hampir tak diperhatikan. Padahal, jika saja ada yang meremehkan peran jamban, sila bayangkan kehidupan ini tanpa kehadirannya. Mengerikan, bukan?

Seperti halnya judul besar kehidupan. Orang-orang lebih suka menceritakan hidup ketimbang mendengar tentang mati. Hidupnya diusahakan megah, hebat, serta memukau; tapi jarang sekali orang yang mempersiapkan prestasi kematian. Kita fokus mencari kesempurnaan hidup, ketika semua sadar bahwa dirinya akan mati juga.

Begitu pula jamban, orang lebih hobi mencari resep makan daripada obat diare. Kenyamanan dalam melaksanakan makan lebih digemari daripada keantengan dalam ritual membuangnya. Padahal, makan dan jamban adalah dua hal yang sama penting menopang kehidupan. Kedua hal tersebut saling erat berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Jika ada seorang warga negara yang antara makan dan aktivitas jambannya tidak seimbang, maka di situlah kementerian kesehatan bekerja.

Hal di atas tidak berarti saya mengkerdilkan atau meremehkan makan. Aktivitas makan tentu saja sangat penting bahkan primer dalam kehidupan ini. Sungguhpun menurut fikih ia "hanya" berhukum mubah--tidak sunnah atau wajib, tetapi peran pentingnya tak mungkin bisa disanggah. Semua orang pun tahu dan menyadari. Bahkan, aktivitas makan telah disepakati menjadi salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia; yaitu pangan, sandang dan papan. Telah begitu banyak kasus kemanusiaan yang menyadarkan kita betapa pentingnya menjaga makan. Misalnya, yang paling akrab kita dengar, tragedi kelaparan yang menimpa banyak negara miskin di Afrika sana. Dengan kondisi seperti itu, kehidupan pun menjadi mati. Dan dengan fakta tersebut, maka teranglah bahwa aktivitas makan merupakan salah satu rukun kehidupan.

Allah Swt. dalam al-Qur'an juga tercatat sering menganjurkan (kalau tidak memerintahkan) umat manusia agar makan--tentunya dengan makanan yang halal dan bergizi. Bukan hanya di situ, ayat-ayat yang berkenaan dengan makan bahkan jauh lebih banyak disinggung al-Qur'an daripada ayat tentang puasa yang termasuk ibadah itu. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kebutuhan manusia yang satu ini, yaitu makan, meski tetap Dia juga acap mengingatkan kita agar tidak berlebihan dan melampaui batas.

Namun demikian, menjadi sebuah pertanyaan besar ketika kita hanya berfokus pada aktivitas makan saja, tanpa memberikan secuil pun perhatian terhadap jamban. Padahal, kita semua sadar betul bahwa setiap santapan yang masuk ke perut adalah sebuah langkah menuju jamban. Adanya jamban adalah implikasi logis dari adanya meja makan. Oleh sebab itu, jika membicarakan makan adalah penting, mengapa mengobrolkan jamban menjadi tak boleh? Meski memang norma yang berjalan mengatakan bahwa jamban dan membicarakan jamban adalah menjijikan, tapi marilah sesekali kita renungkan, barangkali hal yang menjijikan itu dapat memberikan kita pelajaran. Boleh jadi, hal yang kita anggap jijik dan nista itu merupakan sesuatu yang sangat kita butuhkan.

Jangan-jangan, manfaat yang telah kita ambil dari jamban jauh lebih besar dari manfaat yang telah kita berikan untuk kehidupan. Jangan-jangan.

-----
ahil siradj
Cipulus, 26 Nopember 2017

Friday, November 24, 2017

Pendidikan Jamban

Di sebuah negeri nun jauh di sana, pendidikan formal dilaksanakan di jamban. Mereka tidak punya bangunan sekolah. Mereka tidak mengenal konsep sekolah sebagaimana yang kita sebut sekolah saat ini di sini. Kurikulum, silabus, RPP, dan bahkan jadwal kegiatan belajar-mengajar, mereka tidak punya yang seperti kita. Ah, jangan dulu berbicara kurikulum atau sertifikasi guru, terhadap kata "sekolah"-nya saja jarang sekali penduduk negeri tersebut yang pernah mendengar.

Tetapi bukan itu. Bukan karena mereka kehabisan APBN untuk membuat bangunan megah dan kemudian disebut "sekolah", melainkan karena mereka benar-benar merasa tidak butuh akan hal itu. Padahal, hanya untuk melakukan studi banding ke luar negeri dan lalu mengadopsi sistem sekolahnya, membangun gedung dan menjalankan sistem yang lebih mapan, mereka sangat mampu. Toh mereka sangat kaya. Namun ya begitu, mereka merasa tidak perlu.

Seperti yang sudah diceritakan di atas, konsep pendidikan formalnya hanyalah sesederhana aktivitas jamban. Kementerian Pendidikan di negara tersebut, itu pun jika ada, tugasnya hanyalah menjamin seluruh rakyatnya--dengan tanpa klasifikasi umur--agar dapat mendapatkan hak menggunakan jamban. Dengan limpahan APBN yang luar biasa deras itu, pemerintah hanya berkewajiban untuk menyediakan fasilitas jamban saja, tentu dengan jumlah dan kualitas yang memadai.

Pemerintah tidak ikut campur sampai ke masalah yang lebih dalam dan spesifik, seperti mata kuliah wajib; target capaian; penentuan jenis dan model seragam; dan hal tetek-bengek lainnya. Di jamban mereka pun tidak ditemukan buku absen atau mesin finger print; sebab mereka yakin bahwa rakyat (seluruh siswa padepokan jamban) pasti akan menghadiri kelas jamban dengan senang hati dan suka rela, meski tanpa adanya ancaman bagi yang sering alfa. Maka duit pun tak pernah dihabiskan untuk hal-hal yang tidak perlu, seperti melulu mengacarakan uji kompetensi dan revisi kurikulum, toh mereka memang tidak pernah menggunakan itu.

Duit negara yang dianggarkan untuk pendidikan praktis hanya dipakai ketika misalnya ada saluran jamban yang rusak; mengecat ulang tembok jamban dalam periode lima tahunan; atau pada saat-saat diperlukannya pembangunan jamban yang baru. Di sana tidak ada anggaran negara untuk papan tulis maupun spidol. Bahkan, jika ada genteng bocor atau pintu jamban yang rusak, rakyat sendirilah yang memiliki kesadaran dan iuran untuk memperbaikinya.

Ini sangat aneh bin ajaib. Dengan konsep pendidikan formal yang sedemikian minim itu, negeri tersebut berhasil menelurkan peradaban yang luar biasa. Murid-murid jamban itu pun memiliki moralitas dan tanggung jawab yang jempolan. Dan perlu diketahui, seluruh rakyat di sana merupakan murid-yang-selalu-aktif-sampai-mati di akademi jamban. Tidak ada istilah naik kelas, lulus, drop out, atau yang lainnya. Tidak ada hierarki gelar. Semua penduduk negeri tersebut, sejak petani hingga anggota dewan dan pemerintah eksekutifnya, masihlah dan akan selalu tercatat sebagai siswa jamban. Hanya kesadaran moral-personallah yang membuat mereka selalu hangat dan akrab, pun tak lupa budaya menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.

Itu pun jika kita menyempitkan pembicaraan hanya pada tataran pendidikan formal. Di luar itu, mereka semuanya adalah penuntut ilmu yang tak pernah kenyang. Dahaga terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh seluruh penduduk negeri itu dapat dibuktikan oleh banyaknya pagelaran diskusi ilmiah, kuliah filsafat, penelitian sains, analisis gejala sosial, pementasan teater dan sastra, sampai pengajian keagamaan, yang memenuhi seluruh wilayah kota maupun desa di negeri tersebut. Itu semua dilakukan di luar pendidikan formal. Para guru, ustadz, atau pemberi kuliah tersebut adalah swadaya-swasta. Jika pun ada dari mereka yang kebetulan adalah seorang pegawai desa yang PNS, maka kegiatan ilmiah tersebut di luar pekerjaannya. Artinya, tidak ada bayaran dari negara untuk aktivitas ilmiah mereka. Sebab mereka sadar bahwa perihal pengetahuan dan kedalaman ilmu adalah tanggung jawab pesonal, bukan sesuatu yang harus menunggu bantuan negara.

Selain itu, aparatur negara pun tahu dan sadar betul bahwa hal yang sangat serius seperti pendidikan bukanlah sesuatu yang dapat dicari dan dipaksakan standardnya. Setiap watak rakyatnya tentu saja memiliki gaya dan khas pendekatannya masing-masing. Maka dari itulah mereka hanya menyelenggarakan pendidikan formal sebatas di jamban saja. Namanya juga formalitas, bukan sesuatu yang harus substansial. Maka cukuplah jamban dianggap sebagai simbol pendidikan mereka. Di luar itu, semua diserahkan pada kesadaran dan kedewasaan masyarakat setempat. Para intelektual, budayawan, dan alim-ulama, sangat terlihat sekali jasa luhurnya dalam titik ini. Merekalah kelompok yang paling peduli terhadap kualitas intelektual para tetangganya. Dan berangkat dari sanalah kemudian dapat dijumpai dengan sangat mudah berbagai aktivitas ilmiah di seluruh penjuru kota seperti tadi disebut.

Tapi sebentar. Jamban. Entah mengapa harus jamban yang dipilih menjadi simbol pendidikan di negeri tersebut. Mengapa tidak meja makan, warung kopi, pusat perbelanjaan, atau juga tempat wisata yang ditahbiskan menjadi tempat pendidikan yang diselenggarakan resmi oleh negara. Ah, saya sendiri tidak tahu. Namun, menurut hasil penelitian dan studi banding dari negara sebelah yang terpesona dan kemudian mengadopsi sistem pendidikan di sana, ternyata jamban dipilih sebagai pusat pendidikan di negeri tersebut tidak lain hanya karena jamban dianggap lebih memungkinkan membuat orang menjadi lebih cerdas dan bijaksana. Buktinya, betapa sering kita keluar dari jamban dengan wajah yang tercerahkan. Betapa banyak ide dan imajinasi yang lahir dari tempat sempit nan kotor itu. Jamban.

-----
ahil siradj,
Cipulus, 25 Nopember 2017.