Friday, November 24, 2017

Pendidikan Jamban

Di sebuah negeri nun jauh di sana, pendidikan formal dilaksanakan di jamban. Mereka tidak punya bangunan sekolah. Mereka tidak mengenal konsep sekolah sebagaimana yang kita sebut sekolah saat ini di sini. Kurikulum, silabus, RPP, dan bahkan jadwal kegiatan belajar-mengajar, mereka tidak punya yang seperti kita. Ah, jangan dulu berbicara kurikulum atau sertifikasi guru, terhadap kata "sekolah"-nya saja jarang sekali penduduk negeri tersebut yang pernah mendengar.

Tetapi bukan itu. Bukan karena mereka kehabisan APBN untuk membuat bangunan megah dan kemudian disebut "sekolah", melainkan karena mereka benar-benar merasa tidak butuh akan hal itu. Padahal, hanya untuk melakukan studi banding ke luar negeri dan lalu mengadopsi sistem sekolahnya, membangun gedung dan menjalankan sistem yang lebih mapan, mereka sangat mampu. Toh mereka sangat kaya. Namun ya begitu, mereka merasa tidak perlu.

Seperti yang sudah diceritakan di atas, konsep pendidikan formalnya hanyalah sesederhana aktivitas jamban. Kementerian Pendidikan di negara tersebut, itu pun jika ada, tugasnya hanyalah menjamin seluruh rakyatnya--dengan tanpa klasifikasi umur--agar dapat mendapatkan hak menggunakan jamban. Dengan limpahan APBN yang luar biasa deras itu, pemerintah hanya berkewajiban untuk menyediakan fasilitas jamban saja, tentu dengan jumlah dan kualitas yang memadai.

Pemerintah tidak ikut campur sampai ke masalah yang lebih dalam dan spesifik, seperti mata kuliah wajib; target capaian; penentuan jenis dan model seragam; dan hal tetek-bengek lainnya. Di jamban mereka pun tidak ditemukan buku absen atau mesin finger print; sebab mereka yakin bahwa rakyat (seluruh siswa padepokan jamban) pasti akan menghadiri kelas jamban dengan senang hati dan suka rela, meski tanpa adanya ancaman bagi yang sering alfa. Maka duit pun tak pernah dihabiskan untuk hal-hal yang tidak perlu, seperti melulu mengacarakan uji kompetensi dan revisi kurikulum, toh mereka memang tidak pernah menggunakan itu.

Duit negara yang dianggarkan untuk pendidikan praktis hanya dipakai ketika misalnya ada saluran jamban yang rusak; mengecat ulang tembok jamban dalam periode lima tahunan; atau pada saat-saat diperlukannya pembangunan jamban yang baru. Di sana tidak ada anggaran negara untuk papan tulis maupun spidol. Bahkan, jika ada genteng bocor atau pintu jamban yang rusak, rakyat sendirilah yang memiliki kesadaran dan iuran untuk memperbaikinya.

Ini sangat aneh bin ajaib. Dengan konsep pendidikan formal yang sedemikian minim itu, negeri tersebut berhasil menelurkan peradaban yang luar biasa. Murid-murid jamban itu pun memiliki moralitas dan tanggung jawab yang jempolan. Dan perlu diketahui, seluruh rakyat di sana merupakan murid-yang-selalu-aktif-sampai-mati di akademi jamban. Tidak ada istilah naik kelas, lulus, drop out, atau yang lainnya. Tidak ada hierarki gelar. Semua penduduk negeri tersebut, sejak petani hingga anggota dewan dan pemerintah eksekutifnya, masihlah dan akan selalu tercatat sebagai siswa jamban. Hanya kesadaran moral-personallah yang membuat mereka selalu hangat dan akrab, pun tak lupa budaya menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.

Itu pun jika kita menyempitkan pembicaraan hanya pada tataran pendidikan formal. Di luar itu, mereka semuanya adalah penuntut ilmu yang tak pernah kenyang. Dahaga terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh seluruh penduduk negeri itu dapat dibuktikan oleh banyaknya pagelaran diskusi ilmiah, kuliah filsafat, penelitian sains, analisis gejala sosial, pementasan teater dan sastra, sampai pengajian keagamaan, yang memenuhi seluruh wilayah kota maupun desa di negeri tersebut. Itu semua dilakukan di luar pendidikan formal. Para guru, ustadz, atau pemberi kuliah tersebut adalah swadaya-swasta. Jika pun ada dari mereka yang kebetulan adalah seorang pegawai desa yang PNS, maka kegiatan ilmiah tersebut di luar pekerjaannya. Artinya, tidak ada bayaran dari negara untuk aktivitas ilmiah mereka. Sebab mereka sadar bahwa perihal pengetahuan dan kedalaman ilmu adalah tanggung jawab pesonal, bukan sesuatu yang harus menunggu bantuan negara.

Selain itu, aparatur negara pun tahu dan sadar betul bahwa hal yang sangat serius seperti pendidikan bukanlah sesuatu yang dapat dicari dan dipaksakan standardnya. Setiap watak rakyatnya tentu saja memiliki gaya dan khas pendekatannya masing-masing. Maka dari itulah mereka hanya menyelenggarakan pendidikan formal sebatas di jamban saja. Namanya juga formalitas, bukan sesuatu yang harus substansial. Maka cukuplah jamban dianggap sebagai simbol pendidikan mereka. Di luar itu, semua diserahkan pada kesadaran dan kedewasaan masyarakat setempat. Para intelektual, budayawan, dan alim-ulama, sangat terlihat sekali jasa luhurnya dalam titik ini. Merekalah kelompok yang paling peduli terhadap kualitas intelektual para tetangganya. Dan berangkat dari sanalah kemudian dapat dijumpai dengan sangat mudah berbagai aktivitas ilmiah di seluruh penjuru kota seperti tadi disebut.

Tapi sebentar. Jamban. Entah mengapa harus jamban yang dipilih menjadi simbol pendidikan di negeri tersebut. Mengapa tidak meja makan, warung kopi, pusat perbelanjaan, atau juga tempat wisata yang ditahbiskan menjadi tempat pendidikan yang diselenggarakan resmi oleh negara. Ah, saya sendiri tidak tahu. Namun, menurut hasil penelitian dan studi banding dari negara sebelah yang terpesona dan kemudian mengadopsi sistem pendidikan di sana, ternyata jamban dipilih sebagai pusat pendidikan di negeri tersebut tidak lain hanya karena jamban dianggap lebih memungkinkan membuat orang menjadi lebih cerdas dan bijaksana. Buktinya, betapa sering kita keluar dari jamban dengan wajah yang tercerahkan. Betapa banyak ide dan imajinasi yang lahir dari tempat sempit nan kotor itu. Jamban.

-----
ahil siradj,
Cipulus, 25 Nopember 2017.

No comments:

Post a Comment