Sunday, December 24, 2017

Kabar tentang Segelas Kopi

Ketika sekeping dingin meruncing di awal hari, Segelas Kopi merasakan tubuhnya seperti berada di dalam kulkas. Ia menggigil, sesekali bergelinjang. Ia menengok kanan-kiri, mengawasi setiap sudut, mengerahkan sisa-sisa daya penglihatannya untuk mencari sumber panas. Barangkali, ada sesuatu yang dapat membantunya mengundang hangat. Tapi usahanya itu tak menemui hasil. Ia berpikir keras-keras. Kesimpulannya, satu-satunya cara yang mungkin adalah jika ada sepasang bibir yang sudi mendarat di tubuhnya, meneguknya pelan-pelan, mendapat nikmat darinya, lalu menyisakan hangat untuknya. Tapi bibir yang hangat itu tidak ada! Kalaupun ia berani berharap agar bibir atau benda hangat lainnya ada menghampiri, rasanya pengharapan itu akan nihil. Benda yang semula tiada tidak akan menjadi ada hanya dengan diharapkan. Lagi pula, ia--Segelas Kopi--mengalami trauma dengan yang namanya harap-berharap. Sebabnya, harap terlalu akrab dengan kecewa. Dan ratusan pengalaman mendera kekecewaan itulah yang membuatnya menjadi lebih sulit menggantungkan harapan.

Demikian pula dengan saat ini. Daripada melangitkan harapan ingin dinikmati selagi masih layak; mengharapkan diperlakukan dengan hormat, ia lebih bersiap-siap untuk merelakan dirinya segera kedaluwarsa; menjadi gadis tua yang hilang keperawanannya, diperkosa dengan ganas oleh udara malam khas pegunungan. Kenyataan ini bukannya kurang membuat dada Segelas Kopi menjadi sakit, bukan juga tidak memilukan. Namun bagi Segelas Kopi, setelah rangkaian usaha terlaksana, maka yang terbaik untuk dilakukan selanjutnya adalah menerima. Mengharapkan yang tidak-tidak hanya akan menambah kesakitan itu sendiri. Pengharapan terhadap hal yang tidak ada, pada tahap lanjutnya bisa jadi merupakan pengkhianatan terhadap kenyataan. Dan Segelas Kopi tak mau itu. Ia ingin tetap setia. Meski ia pun tahu bahwa dengan itu, maka ia sendirianlah yang dikhianati. "Bukankah Segelas Kopi--dan begitu juga dengan segelas minuman lain--diseduh dihidangkan dengan tujuan untuk diminum? Maka mendiamkannya setelah dihidangkan adalah sebuah pengkhianatan! Menyelingkuhi fungsi dan guna Segelas Kopi, serta juga menciderai tujuan awal ketika ia hendak dihidangkan." Ujar Pak Erte tak sabar mengomentari.

"Sial betul Dunungan itu!", cacinya meneruskan. "Apa gunanya Kopi diseduh, jika matanya tetap saja tak mampu bertahan?! Apakah rayuan Si Tidur masih terlalu seksi dibanding dengan godaan kepahitan Kopi? Bukankah Si Dunungan itu sengaja menjaganya dari gula, agar kepahitan Kopi tetap terjaga sebagaimana seleranya? Kurang ajar nian!" Demikian gugatannya berkelanjutan. Emosinya meledak. Sebagai penggemar kopi yang fanatik, ada perasaan terhinakan yang meletup-letup dari dalam asanya.

"Itu betul, Pak Erte! Saya juga tidak habis mengerti. Mengapa sebegitu teganya Si Dunungan itu memperlakukan Segelas Kopi? Atau, bahkan, mengapa sebegitu lancangnya Si Dunungan itu mempertaruhkan kelelakiannya sendiri? Kita sebagai kaum lelaki berhak merasa keberatan, Pak Erte! Oknum bajingan macam Si Dunungan yang tak tahu diri itu membuat martabat kita menjadi tercoreng di muka semesta. Bukankah lelaki itu dikenal dengan kepatuhan atas prinsipnya? Dan mendiamkan sesuatu yang sebelumnya diinginkan mati-matian adalah kelakuan yang tak berprinsip! Sama sekali tidak berperi-kelelakian." Kang Ojek pun akhirnya menimpali. Ia tak kalah emosionalnya dari Pak Erte. Lelaki yang sehari-harinya berpendapatan bersih 25.000 rupiah itu terlihat semakin idealis di saat-saat seperti ini. Pendapat yang ia utarakan kadang-kadang bisa lebih tajam daripada pendapatnya orang yang berpendapatan 2,5 juta per jam.

"Dan ketika Kopi dihadirkan di genggamannya, hanya seteguk dua teguk saja ia dicicipi. Padahal belum habis Kopi diminum, tapi moleknya Si Tidur ternyata lebih kuat menggodanya! Menurut Pak Erte, mengapa hal itu bisa terjadi, ya? Hal demikian tak bisa masuk di akal saya. Bahkan, jika memang sejak awal Si Dunungan tak bermaksud mencari melek dengan wasilah Kopi, hal itu tetap tak dapat menjadi alasan untuk mendiamkan Segelas Kopi! Tolong, hargailah!"

"Duh, kira-kira, berita ini sudah menyebar atau belum, ya Kang? Saya jadi waswas juga. Tidak. Saya tidak akan berkomentar lebih dalam lagi. Jika cerita tersebut benar, maka kita sudah sepakat dengan biadabnya kelakuan Si Dunungan itu. Tapi kali ini saya berbicara sebagai pihak bertanggung jawab di RT ini. Saya cemas dengan wartawan. Coba dicek, Kang, apa berita ini sudah viral di media sosial? Bahwa besok pagi saya harus datang menegur dan bersilaturrahmi ke rumahnya, itu betul. Saya memang akan melakukannya demi stabilitas dan marwah RT ini. Saya harus segera bertabayyun dengan Sang Dunungan, lalu mengajaknya dan seluruh kalangan tetangga agar dapat berembuk. Syukur-syukur, gejolak yang akan muncul di lingkaran tetangga sudah dapat redam sebelum para wartawan datang. Kang Ojek sendiri tahu, berita seperti ini sangat rawan diintervensi oleh pihak luar yang berkepentingan."

"Hehehe. Aduh, saya jadi malu, Pak Erte." Kang Ojek meneruskan sambil mesem. Perasaan malunya meluap-luap dari pori-pori wajahnya. "Mungkin inilah yang membedakan Pak Erte dengan kami, warga biasa. Pak Erte yang bertanggung jawab lebih besar, maka penglihatan Pak Erte pun jauh lebih luas. Saya tidak dapat melihat sejauh itu. Saya tidak ingat dengan wartawan serta implikasinya terhadap stabilitas RT ini. Saya hanya menyisakan amarah saja terhadap Sang Dunungan. Padahal, saya juga menyadari bahwa mungkin saja ada hal yang luput dari kabar yang saya terima dari Angin. Saya sendiri tidak sabaran, lantas mengadukan saja kepada Pak Erte lalu mengomentarinya secara berlebihan. Seharusnya saya dapat memberikan kesempatan kepada sangka baik saya agar dapat bekerja. Tapi malah emosi saja yang meledak. Hehehe, saya malu, Pak Erte. Hehehe. Maafkan saya."

"Ah, tidak juga, Kang. Saya justru berterima kasih telah mengabarkan dengan cepat hal-hal yang mengguncang seperti ini. Saya jadi tahu dan bisa melakukan penyelesaiannya dengan segera. Terima kasih sekali, Kang." Pak Erte memungkasi obrolan dini hari itu. Kang Ojek pun pulang setelah Segelas Kopi yang disuguhkan di depannya benar-benar habis. Mereka berdua memang sama-sama penggemar fanatik kopi. Dan Kang Ojek adalah teman lamanya Pak Erte. Lebih lama dari sebutan Ojek dan Erte itu sendiri. Bahkan, lapak akrab dan medan diskusinya sudah berangsur sejak mereka masih remaja.

Sebenarnya, sejak dahulu sampai Pak Erte menjadi Pak Erte, mereka berdua terbiasa ngopi dengan gelas yang sama. Namun, sejak hal-hal baru dan sementara itu ada, maka Kang Ojek berpikir bahwa di antara mereka harus ada jarak barang sejengkal. Itu agar Pak Erte bisa fokus dan amanah dengan jabatannya. Pak Erte pun setuju. Maka Kang Ojek berangkat pulang dengan sumringah. Ia senang tat kala bisa menyaksikan pengaruh besar dari keberhasilannya mengambil jarak itu. Pak Erte memang sedang jadi Pak Erte! Meski sisi emosionalnya masih tersisa, ah, itu manusiawi. Selebihnya, Kang Ojek merasa bangga dengan ke-Pak Erte-an temannya itu.

Dan pada saat pagi itu datang, benar-benar masih pagi, Pak Erte sudah siap untuk berangkat menuju rumah Sang Dunungan. Meski dengan mata yang terlihat lelah, tapi wajahnya segar, peci hitamnya mantap. Perutnya pun sudah diisi sarapan gorengan. Dan ketika ia hendak keluar rumah, di sana tergeletak sebuah surat kabar yang baru saja tiba diantar Tukang Koran. Di sana, di halaman depannya, tertulis dengan jelas dan besar: Kang Ojek Tewas setelah Minum Kopi di Rumah Pak Erte.

-----
Cipulus, 25 Desember 2017

Tuesday, December 19, 2017

Mengundang Penyesalan

Suatu ketika, ada seseorang yang kena marah gara-gara statusnya di Pesbuk. Status yang dianggap sangat kontroversial itu sontak membuat penghuni negeri kenangan menjadi gaduh, membuat langit menjadi biru dan sampai-sampai matahari pun dikabarkan akan tenggelam maghrib nanti.

Seluruh penduduk di negeri kenangan sudah kadung sakit hati. Bukan hanya ngomel-ngomel via medsos, mereka juga menempuh berbagai cara guna membungkam si pemilik status tersebut. Bahkan, berkas penggugatan terhadap si pemilik status telah sampai dan sedang dikaji oleh pengadilan penyesalan.

Sebenarnya mereka tidak mengharapkan si pelaku dipenjara. Hanya memenjarakan si pelaku tidak cukup memuaskan mereka. Mereka ingin lebih. Mengutuknya dengan penyesalan mungkin dapat menjadi obat. Ya, hanya dengan mengirimnya ke jurang penyesalanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatannya itu. Si empunya status dapat mengakui kesalahannya secara tulus, sampai berani menghaturkan sembah maafnya di hadapan publik masa lalu, inilah yang--setidaknya akan sedikit--melegakan perasaan masyarakat kenangan.

Pasalnya, masalah ini sangat serius. Kontroversi yang dimunculkan oleh si pelaku bukanlah sekadar sensasi sembarangan. Tidak seperti penistaannya Ahok yang masih debatable, perkara yang mengguncang negeri kenangan ini sudah menjadi kesepakatan sosial yang universal. Seluruh komponen yang terdapat di masa silam sudah sekomando-sesuara, sejak kepala hingga kaki, mereka sepakat bahwa si terlapor telah bersalah. Oleh sebab itu, maka mereka pun tidak lagi membutuhkan perdebatan semacam ILC.

Meski berkas proseduralnya masih dikaji, pengadilan sosial warga kenangan telah bekerja. Tagline di media sudah seragam dan menyebar secara luas dan rata. Dengan natural, mereka sudah terlanjur menghakimi sang terlapor ini sebagai si pelaku. Maka keputusan rakyat sudah final dan bulat. Keputusan yang akan diumumkan oleh pengadilan hanya dianggap sebagai formalitas belaka.

Tokoh sesepuh yang dikenal amat bijaksana pun sampai tidak mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menunggu keputusan pengadilan itu. Beliau-beliau itu telah memilih untuk bersuara sama dengan masyarakat pada umumnya. Hanya saja, kegaduhan yang terjadi, serta kesepakatan alamiah yang berjalan di sana, tidak sampai membuat para tokoh terhormat itu terinspirasi untuk menggelar bisnis aksi-aksian.

Gelinding penasaran akhirnya mendarat juga di pelataran dada seorang pengamat dari luar negeri. Kira-kira, status Pesbuk macam apakah yang dapat membuat negeri kenangan yang sedemikian tenang itu kini menjadi gaduh dan ramai. Ia pun melakukan penelitian. Dan ketika jarinya sampai ke judul berita yang telah viral di negeri kenangan itu, wajahnya pun memerah menahan amarah; dahinya mengerut; matanya memicing; napasnya hingga tak teratur.

Sekejap kemudian, mulutnya pun tak sabar lagi untuk segera mengomentari, atau tepatnya mencaci maki: "Brengsek nian orang ini! Bajingan betul! Aset agung nan mulia milik negeri kenangan, yaitu mantan, secara ringan dan terang-terangan ia samakan dengan tai, barang bau, hina dan rendahan! Kurang ajar benar! Bersabarlah, duhai warga kenangan, bersabarlah. Sebab, siapa berani merendahkan mantan, maka sesungguhnya ia mengundang penyesalan! Penyesalan akan datang, kunyuk..!!"

----
Perjalanan menuju Ciasem, Subang, 19 Desember 2017