Sunday, November 26, 2017

Jamban; Pelajaran yang Terlupakan

Jamban di sini adalah WC. Sedangkan kata WC merupakan singkatan dari water closet, atau secara harafiah berarti kakus air. Apa itu kakus air? Apakah Anda baru mendengar? Kita sama. Padahal, kakus air itu ya WC itu. Dan ternyata, kita lebih mengenal istilah "WC" yang merupakan singkatan dari bahasa Inggris daripada kata "kakus" yang bahasa Indonesia. Tapi tidak masalah, toh bukan hanya tentang WC, terhadap banyak hal yang "lebih penting" pun kita kerap lebih bangga dengan hal-hal yang berasal dari asing. Juga, kata "closet" yang kemudian diserap menjadi "kloset" telah tercantum dalam KBBI; maka dengan melafalkan kata kloset saja sebenarnya kita telah berbahasa Indonesia dan direstui KBBI.

Selain itu, bahasa kita bahasa Indonesia juga masih memiliki berbagai istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk WC, seperti toilet; jamban; kamar kecil; dan mungkin masih ada istilah lainnya. Artinya, jika dilihat dari titik ini, sebenarnya tingkat penggunaan kita terhadap bahasa nasional masihlah berada pada zona aman, dan tidak menuntut adanya kecemasan yang berlebihan.

Tapi bukan hal itu yang hendak saya bahas di sini. Bukan mengenai nasionalisme dalam berbahasa, sekelumit alternatif istilah, asal mula kata, atau bahkan sejarah penemuan jamban beserta tokoh-tokoh pentingnya. Dan terus terang saja, saya tidak akan membahasnya karena memang tidak tahu, bukan karena tidak ingin atau merasa tidak perlu. Lagi pula, poin yang ingin saya kemukakan di sini tidaklah rumit. Jamban atau toilet yang dimaksud adalah jamban sebagaimana yang kita pahami sehari-hari. Sesederhana itu; tidak ada hal-hal yang aneh bin baru. Dan oleh sebab itu pulalah saya mencukupkan diri dengan pemahaman kita mengenai jamban seperti semula, tidak akan menawarkan definisi baru dan hal tetek-bengek lainnya yang akan memanas-didihkan jagat perdebatan mengenai WC/toilet/jamban.

Lalu, mengapa harus jamban? Ada apa dengan jamban? Jawabannya, ya karena ingin saja. Tidak ada faktor tertentu--ilmiah, rasional, saintifik--yang mendorong saya untuk membahas jamban. Dan juga, pertanyaan "ada apa dengan jamban" terasa lebih enak didengar telinga, karena "Ada Apa dengan Cinta?" sudah dijadikan film oleh Riri Riza. Hmm.

***

Syahdan, kita harus mengakui jamban sebagai suatu entitas penting dalam kehidupan ini. Kehadirannya dalam kehidupan ini sangatlah urgen, tak ubahnya seperti kamar tidur. Namun begitu, nilai-nilai ketimuran seperti sopan-santun; konsep Barat seperti pemilahan ruang privat-publik; seringkali meletakkan jamban hanya di pinggiran. Seperti halnya seks, membicarakannya di panggung publik dianggap sangat tabu. Padahal ia ada. Dan penting. Tetapi karena jarang dibicarakan, perihal urgensinya menjadi hampir tak diperhatikan. Padahal, jika saja ada yang meremehkan peran jamban, sila bayangkan kehidupan ini tanpa kehadirannya. Mengerikan, bukan?

Seperti halnya judul besar kehidupan. Orang-orang lebih suka menceritakan hidup ketimbang mendengar tentang mati. Hidupnya diusahakan megah, hebat, serta memukau; tapi jarang sekali orang yang mempersiapkan prestasi kematian. Kita fokus mencari kesempurnaan hidup, ketika semua sadar bahwa dirinya akan mati juga.

Begitu pula jamban, orang lebih hobi mencari resep makan daripada obat diare. Kenyamanan dalam melaksanakan makan lebih digemari daripada keantengan dalam ritual membuangnya. Padahal, makan dan jamban adalah dua hal yang sama penting menopang kehidupan. Kedua hal tersebut saling erat berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Jika ada seorang warga negara yang antara makan dan aktivitas jambannya tidak seimbang, maka di situlah kementerian kesehatan bekerja.

Hal di atas tidak berarti saya mengkerdilkan atau meremehkan makan. Aktivitas makan tentu saja sangat penting bahkan primer dalam kehidupan ini. Sungguhpun menurut fikih ia "hanya" berhukum mubah--tidak sunnah atau wajib, tetapi peran pentingnya tak mungkin bisa disanggah. Semua orang pun tahu dan menyadari. Bahkan, aktivitas makan telah disepakati menjadi salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia; yaitu pangan, sandang dan papan. Telah begitu banyak kasus kemanusiaan yang menyadarkan kita betapa pentingnya menjaga makan. Misalnya, yang paling akrab kita dengar, tragedi kelaparan yang menimpa banyak negara miskin di Afrika sana. Dengan kondisi seperti itu, kehidupan pun menjadi mati. Dan dengan fakta tersebut, maka teranglah bahwa aktivitas makan merupakan salah satu rukun kehidupan.

Allah Swt. dalam al-Qur'an juga tercatat sering menganjurkan (kalau tidak memerintahkan) umat manusia agar makan--tentunya dengan makanan yang halal dan bergizi. Bukan hanya di situ, ayat-ayat yang berkenaan dengan makan bahkan jauh lebih banyak disinggung al-Qur'an daripada ayat tentang puasa yang termasuk ibadah itu. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kebutuhan manusia yang satu ini, yaitu makan, meski tetap Dia juga acap mengingatkan kita agar tidak berlebihan dan melampaui batas.

Namun demikian, menjadi sebuah pertanyaan besar ketika kita hanya berfokus pada aktivitas makan saja, tanpa memberikan secuil pun perhatian terhadap jamban. Padahal, kita semua sadar betul bahwa setiap santapan yang masuk ke perut adalah sebuah langkah menuju jamban. Adanya jamban adalah implikasi logis dari adanya meja makan. Oleh sebab itu, jika membicarakan makan adalah penting, mengapa mengobrolkan jamban menjadi tak boleh? Meski memang norma yang berjalan mengatakan bahwa jamban dan membicarakan jamban adalah menjijikan, tapi marilah sesekali kita renungkan, barangkali hal yang menjijikan itu dapat memberikan kita pelajaran. Boleh jadi, hal yang kita anggap jijik dan nista itu merupakan sesuatu yang sangat kita butuhkan.

Jangan-jangan, manfaat yang telah kita ambil dari jamban jauh lebih besar dari manfaat yang telah kita berikan untuk kehidupan. Jangan-jangan.

-----
ahil siradj
Cipulus, 26 Nopember 2017

Friday, November 24, 2017

Pendidikan Jamban

Di sebuah negeri nun jauh di sana, pendidikan formal dilaksanakan di jamban. Mereka tidak punya bangunan sekolah. Mereka tidak mengenal konsep sekolah sebagaimana yang kita sebut sekolah saat ini di sini. Kurikulum, silabus, RPP, dan bahkan jadwal kegiatan belajar-mengajar, mereka tidak punya yang seperti kita. Ah, jangan dulu berbicara kurikulum atau sertifikasi guru, terhadap kata "sekolah"-nya saja jarang sekali penduduk negeri tersebut yang pernah mendengar.

Tetapi bukan itu. Bukan karena mereka kehabisan APBN untuk membuat bangunan megah dan kemudian disebut "sekolah", melainkan karena mereka benar-benar merasa tidak butuh akan hal itu. Padahal, hanya untuk melakukan studi banding ke luar negeri dan lalu mengadopsi sistem sekolahnya, membangun gedung dan menjalankan sistem yang lebih mapan, mereka sangat mampu. Toh mereka sangat kaya. Namun ya begitu, mereka merasa tidak perlu.

Seperti yang sudah diceritakan di atas, konsep pendidikan formalnya hanyalah sesederhana aktivitas jamban. Kementerian Pendidikan di negara tersebut, itu pun jika ada, tugasnya hanyalah menjamin seluruh rakyatnya--dengan tanpa klasifikasi umur--agar dapat mendapatkan hak menggunakan jamban. Dengan limpahan APBN yang luar biasa deras itu, pemerintah hanya berkewajiban untuk menyediakan fasilitas jamban saja, tentu dengan jumlah dan kualitas yang memadai.

Pemerintah tidak ikut campur sampai ke masalah yang lebih dalam dan spesifik, seperti mata kuliah wajib; target capaian; penentuan jenis dan model seragam; dan hal tetek-bengek lainnya. Di jamban mereka pun tidak ditemukan buku absen atau mesin finger print; sebab mereka yakin bahwa rakyat (seluruh siswa padepokan jamban) pasti akan menghadiri kelas jamban dengan senang hati dan suka rela, meski tanpa adanya ancaman bagi yang sering alfa. Maka duit pun tak pernah dihabiskan untuk hal-hal yang tidak perlu, seperti melulu mengacarakan uji kompetensi dan revisi kurikulum, toh mereka memang tidak pernah menggunakan itu.

Duit negara yang dianggarkan untuk pendidikan praktis hanya dipakai ketika misalnya ada saluran jamban yang rusak; mengecat ulang tembok jamban dalam periode lima tahunan; atau pada saat-saat diperlukannya pembangunan jamban yang baru. Di sana tidak ada anggaran negara untuk papan tulis maupun spidol. Bahkan, jika ada genteng bocor atau pintu jamban yang rusak, rakyat sendirilah yang memiliki kesadaran dan iuran untuk memperbaikinya.

Ini sangat aneh bin ajaib. Dengan konsep pendidikan formal yang sedemikian minim itu, negeri tersebut berhasil menelurkan peradaban yang luar biasa. Murid-murid jamban itu pun memiliki moralitas dan tanggung jawab yang jempolan. Dan perlu diketahui, seluruh rakyat di sana merupakan murid-yang-selalu-aktif-sampai-mati di akademi jamban. Tidak ada istilah naik kelas, lulus, drop out, atau yang lainnya. Tidak ada hierarki gelar. Semua penduduk negeri tersebut, sejak petani hingga anggota dewan dan pemerintah eksekutifnya, masihlah dan akan selalu tercatat sebagai siswa jamban. Hanya kesadaran moral-personallah yang membuat mereka selalu hangat dan akrab, pun tak lupa budaya menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.

Itu pun jika kita menyempitkan pembicaraan hanya pada tataran pendidikan formal. Di luar itu, mereka semuanya adalah penuntut ilmu yang tak pernah kenyang. Dahaga terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh seluruh penduduk negeri itu dapat dibuktikan oleh banyaknya pagelaran diskusi ilmiah, kuliah filsafat, penelitian sains, analisis gejala sosial, pementasan teater dan sastra, sampai pengajian keagamaan, yang memenuhi seluruh wilayah kota maupun desa di negeri tersebut. Itu semua dilakukan di luar pendidikan formal. Para guru, ustadz, atau pemberi kuliah tersebut adalah swadaya-swasta. Jika pun ada dari mereka yang kebetulan adalah seorang pegawai desa yang PNS, maka kegiatan ilmiah tersebut di luar pekerjaannya. Artinya, tidak ada bayaran dari negara untuk aktivitas ilmiah mereka. Sebab mereka sadar bahwa perihal pengetahuan dan kedalaman ilmu adalah tanggung jawab pesonal, bukan sesuatu yang harus menunggu bantuan negara.

Selain itu, aparatur negara pun tahu dan sadar betul bahwa hal yang sangat serius seperti pendidikan bukanlah sesuatu yang dapat dicari dan dipaksakan standardnya. Setiap watak rakyatnya tentu saja memiliki gaya dan khas pendekatannya masing-masing. Maka dari itulah mereka hanya menyelenggarakan pendidikan formal sebatas di jamban saja. Namanya juga formalitas, bukan sesuatu yang harus substansial. Maka cukuplah jamban dianggap sebagai simbol pendidikan mereka. Di luar itu, semua diserahkan pada kesadaran dan kedewasaan masyarakat setempat. Para intelektual, budayawan, dan alim-ulama, sangat terlihat sekali jasa luhurnya dalam titik ini. Merekalah kelompok yang paling peduli terhadap kualitas intelektual para tetangganya. Dan berangkat dari sanalah kemudian dapat dijumpai dengan sangat mudah berbagai aktivitas ilmiah di seluruh penjuru kota seperti tadi disebut.

Tapi sebentar. Jamban. Entah mengapa harus jamban yang dipilih menjadi simbol pendidikan di negeri tersebut. Mengapa tidak meja makan, warung kopi, pusat perbelanjaan, atau juga tempat wisata yang ditahbiskan menjadi tempat pendidikan yang diselenggarakan resmi oleh negara. Ah, saya sendiri tidak tahu. Namun, menurut hasil penelitian dan studi banding dari negara sebelah yang terpesona dan kemudian mengadopsi sistem pendidikan di sana, ternyata jamban dipilih sebagai pusat pendidikan di negeri tersebut tidak lain hanya karena jamban dianggap lebih memungkinkan membuat orang menjadi lebih cerdas dan bijaksana. Buktinya, betapa sering kita keluar dari jamban dengan wajah yang tercerahkan. Betapa banyak ide dan imajinasi yang lahir dari tempat sempit nan kotor itu. Jamban.

-----
ahil siradj,
Cipulus, 25 Nopember 2017.