Thursday, September 12, 2019

Masa Depan dan Masa Lalu

Apa daya kita saat berhadapan dengan masa lalu? Manis, pahit, asem dan hambarnya hanya dapat kita terima dan syukuri sebagai sesuatu yang 'telah' terjadi. Sekuat dan sehebat apapun seseorang, masa lalunya tak bisa ia tolak maupun hindari. Bagaimanapun, masa lalu tetap telah dan telah terjadi.

Katakanlah bahwa sejarah dimiliki oleh pemenang. Anggap saja demikian, orang-orang berkuasa bisa saja merekayasa sejarah. Tetapi yang mereka reka dan ciptakan tak lain hanya cerita dan dongengnya saja. Momen sejarahnya tetap tak mungkin diganti. Ia persis presisi dan bersifat pasti karena telah terjadi. Ia pun menjadi sakral sebab setiap peristiwanya hanya terjadi satu kali.

Di sudut yang lain, kita mampu berbicara apa saja tentang masa depan. Kita bisa menciptakan angan-angan maupun ramalan. Kita senang melakukan itu, karena masa depan dapat direncanakan dan diusahakan. Apalagi jika pandangan kita terhadap hidup melulu dilandaskan pada konsep utilitarian; asas faedah dan kegunaan. Jelas saja berbincang mengenai masa depan dinilai jauh lebih bermanfaat, katanya, ketimbang berbicara masa lalu.

Misalnya saja, tentang Indonesia, ada yang mengungkapkan harapan dengan mengatakan bahwa Indonesia akan berjaya pada tahun sekian. Di sisi yang lain, ada pula yang mengutarakan kekhawatiran dengan merapalkan bahwa justru Indonesia bisa saja bubar pada tahun sekian. Baik ini maupun itu, semuanya boleh dan sah-sah saja karena nilainya cuma prediksi. Seilmiah apapun metodologi yang dipakai ketika menguraikan masa depan, ia tetap tidak lebih dari sebuah ramalan yang nantinya bisa saja dibantah oleh kenyataan.

Namun begitu, bagi pandangan utilitarian dan gulir peradaban yang selalu maju ke depan, prediksi dan ramalan semacam itu tetap saja diperlukan. Ditambah lagi jika berkaitan dengan hal yang serius seperti negara, dengan ketidakmampuan orang-orang modern untuk bersikap secara lebih spontan, mereka amat membutuhkan perencanaan. Semuanya diamati, diukur, diperhitungkan, dirancang dan dicanangkan. Barulah kemudian diupayakan realisasi.

Meski sebenarnya mereka pun sadar bahwa rencana secanggih apapun selalu saja tak mampu menghimpun realitas masa depan secara utuh, hal-hal metodik ini tetap mereka junjung dan laksanakan. Sebab, betapapun rencana itu pasti menyisakan keluputan, rencana tetaplah rencana yang berfungsi sebagai pedoman. Dalam perjalanan menyambangi masa depan, kita setidaknya dapat meminta bantuan kemampuan akal untuk memberikan arah serta mengingatkan akan tujuan.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan di hadapan masa lalu? Selain menerima, rela dan bersyukur.

Friday, August 9, 2019

Saya dan "Om Gus" Kiai Ulil Abshar Abdalla

Sejak masih bocah ingusan, saya memang sudah senang ikut-ikutan berkumpul dengan orang-orang yang usianya jauh di atas saya. Saya sendiri juga tak tahu alasannya mengapa. Saya cuma menikmati perkumpulan itu ketimbang bermain-main dengan kawan sebaya. Karenanya, seringkali saya diledek oleh para paman dan bibi dengan sebutan "kobé", atau "kokolot begog", yang artinya "sok tua" atau "sok dewasa". Tapi semua ledekan itu tak membuat saya menjadi berubah.

Barangkali karena level ke-kepo-an saya yang sejak masih kecil itu sudah mencapai tingkat dewa, orang-orang--terutama keluarga--di sekitar saya pun sering dibuat menjadi kesal. Apa pun yang bisa ditanyakan, akan saya tanyakan. Apa pun yang bisa diketahui, akan saya cari tahu. Dan mungkin oleh sebab itu pulalah saya lebih betah bergaul dengan kakak-kakak senior yang lebih tua. Karena dengan berkumpul bersama mereka, akses terhadap pengetahuan mengenai hal-hal baru menjadi lebih terbuka. Saya pun menjadi "pemulung" dan pencuri dengar yang setia.

Tak bedanya dengan hal yang satu ini. Mungkin pada usia sekitar 10 tahunan, saya mencuri dengar dari obrolan para pemuda yang sedang berdiskusi mengenai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia. Tentu saja saya tak banyak paham tentang apa yang mereka bicarakan itu. Atau bahkan tak ada satu pun poin dari diskusi itu yang dapat saya pahami sama sekali. Tapi dari curi dengar inilah saya mendapati beberapa nama tokoh pemikir yang kemudian akan menjadi figur-figur yang saya idolakan di masa mendatang.

Selain tentu saja Gus Dur, Cak Nur, dan beberapa nama raksasa lainnya, nama Ulil Abshar Abdalla dengan JILnya pasti tak bisa dilewatkan. Meski terus terang saja sampai saat ini pun saya masih belum khatam membaca pemikian-pemikiran mereka, tapi perkenalan pertama saya dengan nama-nama tersebut memberikan bekas yang cukup dalam. Nama-nama itu terus terngiang dalam benak saya. Kalau semisal di TV saya melihat ada orang yang berbicara, kemudian di bawahnya ditulis sebuah nama yang saya ingat, saya akan bergumam: "Ooh, ini toh, orangnya.."

Maka ingatan saya terhadap nama-nama tokoh itu pun menjadi terpelihara, meski pada saat itu saya sedang sibuk-sibuknya bergulat dengan PR bahasa Inggris atau Matematika. Dan karena pada masa tersebut saya masih tidak diizinkan untuk membeli dan membaca "buku-buku aneh", hanya boleh membaca buku pelajaran atau komik dan novel, maka kongkow bersama para pemuda itulah yang menjadi sumber dan lapak saya untuk terus mencari tahu tentang sosok-sosok pemikir dan buah pemikirannya. Saya cuma bisa mengandalkan itu, atau sesekali secara sembunyi-sembunyi membaca buku milik mereka.

Dan akhirnya, saya harus mondok. Otomatis obrolan-obrolan "wah" seperti sebelumnya menjadi langka ditemui bagi santri baru semacam saya. Saya "cuma" berjumpa dengan matan Jurrumiyah, Safinah dan Tijan. Namun ketika masa liburan tiba, lalu saya jatuh sakit dan bulak-balik ke RS untuk waktu yang lama, saya bertemu dengan sesuatu yang baru: Twitter. Dari sinilah "penjelajahan" saya kembali dimulai. Saya cari nama-nama top yang saya ingat, lalu memencet tombol "follow" di profil mereka. Hanya saja, pada saat itu jagat burung biru belum seramai dan sebising sekarang. Saya pun cuma menemukan beberapa tokoh saja yang main Twitter-an.

Di antaranya mBah Gus Mus, kiai sepuh yang termasuk golongan "mutaqaddimin" dalam dunia permedsosan, dan tentu saja menantunya, Gus Ulil Abshar Abdalla. Awalnya saya tak tahu bahwa kedua tokoh tersebut memiliki hubungan menantu-mertua. Saya cuma tahu bahwa nama yang disebut belakangan itu merupakan tokoh JIL. Dan atas dasar kepenasaranan saya terhadap beliau dan pemikirannya itu, saya selalu kepo dan anteng mengikuti linimasanya.

Hampir semua cuitannya pada saat itu saya baca. Sebagiannya saya retweet, atau bahkan saya memberanikan diri me-reply. Padahal, sebenarnya saya juga tidak mengerti apa yang beliau omongkan itu. Tapi namanya kepada idola, kalau beliau menulis twit atau kultwit yang saya mengerti sedikit, pasti akan saya retweet. Dan saking mengidolakan dan cerewetnya saya kepada beliau, saya pun tak sungkan untuk bersikap SKSD, hingga menyapanya dengan sebutan "Om Gus". Ketika saya sampai kurang ajar mengirim DM dan meminta folbek, lalu beliau melakukannya, saya teramat girang bahagia.

Pada masa di mana Twitter mulai gaduh dan saya menepi darinya selama bertahun-tahun, akhirnya saya dapat berjumpa kembali dengan beliau Gus Ulil di lapak Facebook--selain dari buku dan video Youtube. Di sini lebih enak dibaca, sebab satu postingan bisa panjang dan karenanya tak usah pusing-pusing scrolling. Bahasa yang beliau gunakan pun dapat lebih lugas dan tematik pada setiap statusnya. Saya pun mengikuti, namun lebih soft dan silent reader karena khawatir beliau akan 'ngeuh' bahwa saya ini adalah bocah polos nan konyol di Twitter itu. Hahaha.

Beliau menulis serial status berisi syarahnya terhadap kitab Hikam. Kemunculan statusnya pada saat itu terjadwal dengan rapi, beliau pun menyebut kuliah/pengajian ini dengan istilah "pesantren virtual". Pada masa selanjutnya, beliau meloncat menciptakan tren baru di kalangan kiai NU yang bermedsos: live streaming pengajian. Kalau tidak salah ingat, barangkali awal mulanya live streaming itu dilakukan pada momen bulan Ramadhan. Namun karena tuntutan para santri, kiai yang mengaku sebagai lurah pondok ini pun melanjutkannya berseri-seri.

Saya pun terus mengikuti, walau belakangan ini seringkali bolos karena tak punya kuota. Hingga kemudian, beliau beserta sang istri mBak Ning Admin Ienas Tsuroiya meluncurkan Kopdar Ihya'. Saya menanti kapan tibanya giliran kopdar tersebut digelar di tempat yang bisa saya jangkau. Saya bermimpi agar beliau bisa menggelar kopdar di Purwakarta, tempat di mana saya tinggal. Namun, apa mau dikata, karena saya--dan beberapa rekan yang pada saat itu memiliki keinginan sama--masihlah bocah IPNU, saya tak bisa berbuat apa-apa selain bersiul usul dan menitip aspirasi.

Ketika mendengar kabar bahwa beliau akan hadir di UIN Bandung, pada Februari 2018 lalu, saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Walau sebenarnya berjarak tempuh agak lumayan, tapi saat itu baru Kopdar Ihya' di Bandung inilah yang masih mungkin saya jangkau. Dan akhirnya, di mesjid UIN Bandung itulah saya dapat berjumpa dengan sang idola setelah sekian lama hanya bisa bersua di dunia maya. Saya pun mendapatkan tanda tangannya plus foto bersama. Hehehe.

Setelah hampir dua tahun berselang, akhirnya Kopdar Ihya' di Purwakarta dapat terlaksana juga. Sepertinya, acara tersebut diinisiasi oleh para aktivis dan tokoh NU di Purwakarta. Saya pribadi sangat gembira mendengarnya. Saya juga senang karena nampaknya Kopdar Ihya' yang digelar tadi malam itu berjalan lancar, tanpa ada hambatan serius seperti isu pencekalan, sebagaimana pernah terjadi di Purwakarta terhadap beberapa tokoh pada bertahun-tahun silam. Saya tidak tahu; apakah tiadanya isu pencekalan ini dikarenakan masyarakat Purwakarta yang semakin terbuka, ataukah karena Gus Ulil datang untuk mengaji Ihya'? Jawaban yang mana saja, tak dapat mengurangi sedikit pun kebahagiaan saya.

Apalagi, beliau bersama istri juga sampai menyempatkan diri untuk bertandang ke rumah kakek saya, Abah Cipulus, untuk bersilaturrahmi. Kabar yang terakhir inilah yang membuat saya semakin senang sekaligus geregetan. Pasalnya, ketika sang idola bisa datang ke Purwakarta, bahkan silaturrahmi ke rumah Abah, saya yang sedang berada di jauh ini cuma bisa nonton via live streaming dan melihat dari foto-fotonya saja... hiks.

Wednesday, July 10, 2019

MESIN ATM

Begitu tahu ada kiriman, detik itu pula aku segera berganti kostum. Yang semulanya cuma sarungan, seketika berubah menjadi celana lepis yang kece. Bukannya aku gengsi pergi ke ATM dengan menggunakan sarung. Kau sendiri pun tahu betapa aku sangat nyaman sarungan. Hanya saja, budaya di tempat sekarang aku berada tak menganggap sarungan di jalanan sebagai peristiwa yang biasa-biasa. Bagi penduduk setempat, penggunaan sarung di tempat umum malah cenderung dianggap aib.

Aku pun keluar flat dan bergegas menuruni tangga. Setelah empat kali putaran tangga aku tempuh, akhirnya sampai juga di lantai dasar. Aku masih saja terengah-engah walau seharusnya sudah terbiasa menuruni tangga sebanyak itu. Kini, aku masih membutuhkan nafas dan tenaga untuk menyusuri jarak sekitar setengah kilometer menuju tempat di mana mesin penarikan uang itu berada. Aku tak sabar.

Meski dengan nafas yang lumayan terengah-engah, aku tetap mempercepat langkah kakiku. Atau sesekali langkahku melambat kala di depanku ada ibu-ibu. Kucari celah, lalu menyalip dan jalanan di depan pun kembali luang. Aku kembali ngebut. Barangkali orang-orang berpikiran aku ini sedang kebelet, aku tak peduli. Aku memang kebelet ingin duit.

Tempat yang kutuju kian dekat. Aromanya sudah di ujung hidung. Tandanya mudah saja; aku sudah melewati warung makanan favoritku dan--seperti biasa--aroma dari dapurnya selalu memikat. Hatiku bersumpah akan membeli makanan itu, barang seporsi besar atau dua porsi sedang untuk kubawa ke flat dan kumakan bersama teman-teman, nanti di waktu pulang ketika uang sudah di tangan.

Akhirnya sampai juga. Aku membetulkan ritme nafasku. Matahari memicing galak di langit sana. Keringat di wajah kusapu dengan tangan. Aku mengantre, menunggu seseorang lain yang sedang menggunakan jasa mesin ajaib itu. Aku pun merogoh saku belakang, di mana dompetku biasanya aku simpan.

Ah kampret! Dompet beserta kartu ATM milikku ada di celana yang satunya lagi..

Friday, July 5, 2019

Tidur

Pada mulanya, tidur merupakan kondisi yang netral. Jika prosesi tidur itu dibayangkan bisa berdiri secara mandiri, ia tidak dapat dihukumi oleh nilai moral baik-buruk. Tidur hanyalah tidur dan tak mengandung nilai apapun selain tidur itu sendiri. Penghukuman terhadap nilai moral tadi barulah dapat dilakukan hanya ketika tidur itu dilihat lengkap dengan konteks yang meliputinya; seperti kapankah tidur itu dilakukan serta di mana, bagaimanakah situasi yang sedang dialami oleh orang yang tidur tersebut, dan seterusnya.

Segala sesuatu yang "diproduksi" atau "dihasilkan" oleh orang yang sedang tidur juga bersifat nirnilai. Produk-produk igauan tak dianggap memiliki kandungan makna serta tidak melahirkan konsekuensi hukum apapun. Ia di luar jangkauan penilaian sebab tak lahir dari kesadaran. Oleh karena itu pula, menurut fikih, orang yang sedang berada di dalam kondisi tidur bahkan lolos dari taklif, sehingga ia terbebas dari beban keharusan untuk taat pada tata aturan serta konsekuensi fikih yang rigid itu.

Juga tidak dapat ditemukan aturan fikih yang mengikat mengenai bagaimana seharusnya seseorang menjalankan tidur. Begitu pula dalam kitab-kitab akhlak. Bimbingan-bimbingan moral yang berkenaan dengan tidur hanya mengurusi pra dan pasca; bagaimana seseorang selayaknya bersikap ketika ia hendak menuju tidur dan ketika ia baru saja terbangun. Sementara mengenai bagaimana proses tidur itu sendiri harus dijalankan, tidak pernah ada yang secara khusus mengaturnya.

Hal ini jelas tidak mengherankan, sebab yang mengherankan itu justru jika sebaliknya. Memberikan nasihat tentang bagaimana seharusnya "menjalankan tidur" adalah perbuatan yang sia-sia belaka. Sebab peristiwa tidur tak pernah menjadi peristiwa yang penuh dengan kesadaran, dan oleh karena itu menaati nasihat—atau bahkan aturan yang mengikat—di tengah kondisi tidur merupakan hal yang mustahil dilakukan. Maka peristiwa tidur biarlah menjadi momen kebebasan seseorang.

Namun, selain bahwa tidur itu memang didahului oleh bangun, sepanjang apapun waktu tidur—kalau tidak mati—toh pada akhirnya mesti ada bangun kembali. Maka "bangun" yang pertama dan "bangun" yang kedua itulah yang menjadi bekal sekaligus fokus utama bagi mereka yang hendak menilai. Sebab, hanya runtutan konteks pra dan pasca inilah yang dapat membuat rangkaian prosesi tidur itu menjadi sah untuk dinilai. Apa ia ternyata mengandung nilai kebaikan; atau sebaliknya; ataukah seperti pada awalnya, ia cuma bernilai biasa saja, boleh-boleh saja, pantas-pantas saja, karena memang tak berkaitan erat dengan sesuatu lain yang vital dan siginifikan.

Terdapat beberapa produk fikih, dalam hal ini, yang mencoba untuk menetapkan status hukumnya secara ketat dan lumayan ruwet. Misalnya saja ketika tidur tersebut bertemu dengan konteks masuk-keluarnya waktu salat, para ulama berusaha untuk sedetil mungkin menjelaskan tata aturan dan konsekuensi fikih yang berlaku seputar itu.

Sebagai contoh, Ibn Hajar al-Haytami menuliskan dalam Tuhfatul Muhtaj, "Jika seseorang tidur setelah masuk waktu salat (dan ia belum melaksanakannya), maka jika kuat sangkaannya bahwa dia akan terbangun sebelum keluar waktu salat tersebut, dia tidak berdosa, meskipun jika (ketika ia bangun) waktu salat telah keluar (habis)."

Walau tidak sampai membuat orang tersebut berdosa, kasus seperti di atas tetap dihukumi makruh oleh al-Haytami, sebagaimana ia melanjutkan: "Akan tetapi, hal tersebut menjadi makruh bagi orang itu, kecuali jika kantuk telah menguasainya dan ia tak mampu menahannya. Dan apabila (orang yang tidur setelah masuknya waktu salat itu) tidak memiliki dugaan kuat bahwa dirinya dapat terbangun (sebelum keluarnya waktu salat), maka ia berdosa (hal itu menjadi haram baginya) dan orang lain yang mengetahui keadaan dirinya wajib untuk membangunkannya."

Begitulah fikih dengan segala rigiditasnya. Namun, dengan menampilkan contoh di atas, bukan kerumitan fikih itulah yang ingin saya tunjukkan, melainkan pembuktian bahwa yang dapat dijangkau oleh fikih hanyalah konteks pra dan pascatidur, dan bukan tidur itu sendiri.

Peristiwa tidur, seperti telah dibilang, merupakan momen kebebasan bagi setiap orang, meski pada sisi lain juga merupakan momen yang paling tidak bebas. Ia merupakan perayaan kebebasan bagi seseorang dalam arti terbebas dari segala bentuk aturan dan keharusan untuk menaatinya. Sementara pada saat yang sama, ia juga merupakan perisitiwa yang sangat memenjarakan, sebab seseorang menjadi tak memiliki kesadaran sekaligus kehendak atas dirinya sendiri.

Dengan segala macam "fakta" dan keunikan mengenai peristiwa tidur yang telah dipapar di atas, setidaknya kita dapat memahami suatu hal yang sangat sederhana. Yaitu bahwasanya hukum, sekeras dan seketat apapun itu, tetap tak memiliki daya yang cukup untuk sampai menjerat orang-orang yang tidur. Sebabnya juga sederhana, "hanya" perihal hilangnya kesadaran dan fungsi akal. Dan hukum tidak memiliki akses terhadap mereka yang berada di area sana.

Nah, apabila peristiwa tidur yang menghilangkan fungsi akal secara sementara itu saja telah sanggup melenyapkan otoritas hukum terhadapnya, bukankah gangguan kejiwaan yang parah juga sama saja?

---
Jum'at, 5 Juli 2019

Tuesday, June 18, 2019

Wafatnya Bu Ani dan Kesedihan Kita yang Lainnya

Seorang ibu negara yang baru saya ketahui bernama asli Kristiani Herrawati itu kini sudah berpulang. Beliau wafat pada usia 66 tahun lebih sebelas bulan, hanya berselang sebulan saja sebelum ulang tahunnya yang ke-67. Wanita yang lebih akrab dipanggil Ibu Ani Yudhoyono tersebut berpulang setelah empat bulan lamanya menjalani perawatan intensif di rumah sakit National University di Singapura. Pada pertengahan Februari lalu, Ibu Ani diumumkan mengidap kanker darah. Dan sejak saat itu, sang suami dengan setia selalu menemaninya.

Mantan presiden kita yang keenam itu terlihat rapuh namun berusaha untuk tegar. Tak bisa ia sembunyikan matanya yang lelah, tapi ia harus tetap kuat dan lebih kuat dari istrinya. Rapuh dan lelah yang ia rasakan jangan sampai membuat sakit istrinya lebih parah lagi. Ia harus memberikan semangat dan seluruh perhatian. Dan begitulah, tepat di sanalah ia berada; di samping istri tercintanya.

Publik pun banyak menyoroti sikapnya yang dinilai sangat kesatria sekaligus romantis itu. Dalam situasi demikian, Pak SBY fokus menjalankan perannya sebagai seorang suami. Banyaknya urusan politik yang harus ia tangani pada saat itu pun tak menggoyahkan perhatiannya pada kondisi kesehatan istrinya. Nampaknya Pak SBY lebih banyak menyerahkan urusan politik Partai Demokrat kepada putra sulungnya yang sekaligus merupakan Kogasma PD, Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY, atau elit partainya yang lain.

Saya tak tahu apakah dalam periode empat bulan ini Pak SBY sempat pulang ke Indonesia atau tidak. Yang saya ketahui pasti, justru malah tokoh-tokoh nasional kitalah yang diberitakan silih bergantian menjenguk Bu Ani ke sana. Padahal, dalam kurun waktu tersebut, kita semua tahu bagaimana panasnya suhu politik di tanah air. Tapi rasa kemanusiaan di atas itu semua. Ikatan koalisi, persaingan politik, atau apapun itu, nyatanya tak menghalangi banyak tokoh dari berbagai pihak dan dari kubu mana saja untuk datang menjenguk serta mendoakan Bu Ani agar lekas kembali pulih.

Bu Ani pun sempat membaik. “Hari ini saya diperkenankan dokter keluar ruangan untuk melihat hijaunya daun, birunya langit dan segarnya udara walau hanya 1-2 jam,” tulis beliau dalam unggahannya di Instagram pada 16 Mei. Nampak dalam foto yang disertakannya itu beliau yang tengah duduk di kursi roda, ditemani dengan setia oleh Pak SBY. Tak lupa, di sana juga terlihat sang menantu, mBak Annisa Pohan. Unggahan tersebut sempat membuat muda-mudi di Indonesia menjadi baper nggak karuan. Campur aduk antara haru, prihatin, sekaligus mupeng dan ikut bahagia mendengar kabar beliau sudah bisa jalan-jalan ke taman—walau masih menggunakan kursi roda.

Tapi ternyata kabar baik itu tak banyak berlanjut. Pada 29 Mei, kondisi Bu Ani kembali kritis dan harus masuk ICU agar mendapat perawatan ekstra. Dan pada akhirnya, kecanggihan teknologi maupun keahlian para dokter masih belum mampu menggagalkan Bu Kristiani Herrawati Yudhoyono menghembuskan nafas terakhirnya pada Sabtu, 1 Juni 2019, pukul 11.50 waktu Singapura.

Air mata keluarga tak terbendung. Ungkapan duka cita seketika meledak di media sosial. Tokoh dari negara lain pun diketahui mengucapkan bela sungkawanya. Bahkan, informasi mengenai wafatnya almarhumah ibu Ani sempat menjadi world trending topic di Twitter. Kepulangannya diiringi doa dari berbagai penjuru dunia.

Dengan begitu, tak diragukan lagi. Dapat kita bayangkan betapa Bu Ani telah menjadi sosok yang luar biasa semasa hidupnya. Bukan “hanya karena” beliau merupakan istrinya Pak SBY dan pernah menjadi seorang ibu negara, tapi kita yakin bahwa beliau lebih dari itu. Banyak kebaikan yang telah beliau lakukan, sehingga bukan hanya di antara keluarga dan kerabatnya semata, kepulangannya itu menyisakan kesedihan dan rasa kehilangan di tengah-tengah kita—masyarakat Indonesia.

Kesedihan yang Lain

Dan tidak cuma di situ. Ada kesedihan lain yang sama beratnya kita rasakan selain sedihnya ditinggal oleh ibu Ani. Yaitu: kenyataan bahwa kita telah gagal menjadi warga negara yang baik.

Bagaimana tidak? Kita, sebagai bagian dari negara kesatuan republik Endonesah, dapat dikatakan telah gagal menghormati dan merawat ibu negara kita sendiri. Sehingga ketika beliau mendera sakit dan membutuhkan penanganan, Pak SBY dan keluarga dibuat repot sampai-sampai harus ke Singapura. Tentu saja hal itu diakibatkan oleh kegagalan kita dalam menyediakan perawatan kesehatan yang baik untuk para tokoh kita. Andai saja teknologi dan SDM kita telah berkelas, barangkali Pak SBY bisa merawat Bu Ani di Jakarta, hingga Mas Agus dan Mas Ibas pun tak perlu repot-repot pulang-pergi ke negeri singa.

Hal lain yang lebih memilukan lagi, keputusan Pak SBY dan keluarga untuk membawa terbang ibu Ani ke Singapura itu dilandasi oleh rekomendasi dari tim dokter kepresidenan RI. Ini menunjukkan kepada kita semua bahwa tim dokter yang berada di istana saja, dalam batas ini mereka tidak bisa percaya terhadap kemampuan dokter lokal sekalipun mereka mau. Maka kemudian, daripada miliknya sendiri, rumah sakit milik orang lain dinilai lebih layak dan lebih pantas untuk dipercayai menangani kesehatan seorang ibu negara. Barang tentu ini bukanlah perihal nasionalis atau tidak, negeri atau swasta, tapi murni soal kompetensi atau kemampuan. Lalu faktanya menjadi sederhana: kita memang tidak mampu. Kita percaya bahwa kita tidak mampu.

Kisah yang mirip pernah terjadi saat kita kehilangan ibu negara yang lainnya, ibu Hasri Ainun Habibie, yang wafat pada tanggal 22 Mei 2010 di rumah sakit Ludwig Maximilians Universitat di Munchen, Jerman. Selain karena—seperti yang pernah diungkapkan oleh Pak Habibie—Bu Ainun masih memiliki asuransi kesehatan yang aktif di sana, tentu saja pilihan untuk terbang ke Jerman sangat masuk akal karena kelengkapan alat dan kualitas para dokternya. Lagi pula, mengapa harus memilih yang lokal dan jelek jika yang jauh dan bagus saja gratis?

Sembilan tahun setelah peristiwa Bu Ainun itu, kita harus kembali kehilangan seorang ibu negara dengan cara yang kurang lebih sama. Jangka sembilan tahun rupanya bukan waktu yang cukup untuk membuat kita belajar dari kesalahan kala itu. Maka disebabkan oleh ketidaktersediaan alat dan tenaga medis yang mumpuni, kita harus menanggung sedih sekaligus malu saat bercerita kepada anak-cucu kelak bahwa kita pernah membiarkan dua ibu negara menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit luar negeri.

Bukan berarti saya berharap agar para tokoh penting itu terjatuh sakit lalu wafat di rumah sakit dalam negeri. Tentu saja maksudnya bukan begitu. Tetapi setidaknya ‘kan, apabila para pejabat dan tokoh nasional sudah pede mengandalkan rumah sakit lokal, itu mengindikasikan jika kita memang telah mempunyai pelayanan kesehatan yang laik serta mumpuni.

Ketersediaan pelayanan yang baik itulah, Sudara-sudara, yang menjadi harapan kita bersama. Sementara itu, kenyataan yang bisa kita saksikan sekarang nampaknya masih jauh dari angan. Barangkali karena hal itu pulalah Pak Prabowo, tokoh capres bertahan kita, harus jauh-jauh pergi ke Austria hanya untuk memeriksa kesehatannya. Atau mBak Incess, seorang tokoh juragan mukena, yang harus melesat diantar jet ke Singapura saat kakinya bengkak tertimpa lemari.

Dan sekali lagi, ini bukanlah khutbah yang muluk-muluk tentang nasionalisme. Bukan. Bukan pula merupakan tuntutan agar para tokoh dan pejabat memaksakan diri menikmati pengobatan yang segini adanya di negara tercinta. Lagi pula, apa masalahnya jika orang-orang seperti Sudara memilih pengobatan yang mahal dan berkualitas? Toh Sudara mampu.

Yang jadi masalahnya adalah: Berapa banyak orang di negeri ini yang menderita penyakit seperti Bu Ani atau Bu Ainun, tetapi tak mampu pergi ke Singapura, Austria atau Jerman? Sementara pengobatan yang tersedia di tanah air ... hemm … apalagi jika berbicara rasio tenaga medis dengan populasi penduduk, atau pemerataan distribusi dokter ke berbagai wilayah … hemm.

-----

Ditulis pada 2 Juni 2019, catatan di atas merupakan naskah asli yang ditambahi sedikit revisi oleh tangan saya sendiri. Tulisan tersebut mendapat koreksi di tangan redaktur dan ditayangkan pertama kali di situs bicarajabar[dot]com. Ia dapat dilihat di sini.

Sunday, March 17, 2019

Penasaran

Aku ingin tahu. Hal apakah persisnya yang "mencegahku" dari melakukan bunuh diri? Apakah benar-benar karena agama melarangnya; ataukah hanya karena pertimbangan sosial--mengingat bahwa bunuh diri bukanlah cara mati yang umum; ataukah karena aku saja yang pengecut?

Ah, aku juga gelisah tentang siapa sebenarnya yang pengecut itu. Apakah orang yang muak dan menyerah--yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya itu yang boleh kita sebut sebagai pengecut; ataukah justru merekalah yang pura-pura kuat--padahal terlalu lemah dan takut untuk mati yang lebih layak disebut pengecut? Tidakkah sebaiknya kita mengakui itu; fakta bahwa mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri ialah orang-orang yang memiliki suatu keberanian yang sama sekali tak kita miliki?

Begitulah hingga aku pun bingung sendiri. Namun yang jelas, tak akan aku sangkal jika ada orang yang mengatakan bahwa aku memiliki--sedikit--kecenderungan terhadap kematian. Aku sungguh penasaran tentang bagaimana rasanya menjadi mati. Sehingga apabila rasa penasaran itu memuncak, aku kerap kali bertanya-tanya pada diriku sendiri mengenai kemungkinanku untuk menempuh jalan pintas menuju kematian itu--bunuh diri.

Namun begitu, aku juga sama ragunya terhadap apa yang akan aku lakukan jika ancaman kematian itu sedang mendekat. Seperti misalnya ketika ada orang yang tiba-tiba menodongkan pistol ke arahku; atau ketika terpeleset dari gedung lantai tujuh; atau jika aku tenggelam di lautan--apa yang saat itu akan aku lakukan? Apakah aku akan menikmatinya, sebagai tanda kerinduanku terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya? Ataukah aku akan sama saja dengan orang-orang; mencoba melawan, kabur, bertahan, dan melakukan upaya apa saja yang siapa tahu menggagalkan kematian itu?

----

Pada saat yang sama, selain tertarik untuk mengetahui bagaimana rasanya mati, ternyata aku juga sungguh penasaran terhadap apa-yang-selanjutnya di kehidupan ini. Aku bertanya-tanya: Jika aku mati, apa "yang selanjutnya" di kehidupan ini? Pun demikian, jika aku tetap hidup, apakah "yang selanjutnya"?

Yang membuatnya semakin menarik (atau dalam bahasa lain semakin membuatku tersiksa) adalah dua keingintahuan itu yang saling bertolak belakang. Secara logis, aku jelas tak bisa mengalami kematian sementara pada yang saat yang sama aku pun tetap hidup menjalani "yang selanjutnya".

Ataukah sebenarnya ini semua hanyalah permainan dilematis? Saling mengungguli-mengalahkan antara dua keingintahuan itu. Dan apakah ternyata hal itulah yang membuatku bertahan tak melakukan bunuh diri--setidaknya sampai saat ini? Fakta bahwa ternyata rasa penasaranku terhadap kematian tak cukup besar hingga tak pernah mampu mengalahkan rasa penasaranku tentang "yang selanjutnya" dalam kehidupan. Fakta bahwa aku ternyata selalu lebih tertarik untuk mengalami dan mengetahui "yang selanjutnya", dibanding ketertarikanku untuk mengalami mati.

Ataukah aku cuma takut saja?