Friday, July 5, 2019

Tidur

Pada mulanya, tidur merupakan kondisi yang netral. Jika prosesi tidur itu dibayangkan bisa berdiri secara mandiri, ia tidak dapat dihukumi oleh nilai moral baik-buruk. Tidur hanyalah tidur dan tak mengandung nilai apapun selain tidur itu sendiri. Penghukuman terhadap nilai moral tadi barulah dapat dilakukan hanya ketika tidur itu dilihat lengkap dengan konteks yang meliputinya; seperti kapankah tidur itu dilakukan serta di mana, bagaimanakah situasi yang sedang dialami oleh orang yang tidur tersebut, dan seterusnya.

Segala sesuatu yang "diproduksi" atau "dihasilkan" oleh orang yang sedang tidur juga bersifat nirnilai. Produk-produk igauan tak dianggap memiliki kandungan makna serta tidak melahirkan konsekuensi hukum apapun. Ia di luar jangkauan penilaian sebab tak lahir dari kesadaran. Oleh karena itu pula, menurut fikih, orang yang sedang berada di dalam kondisi tidur bahkan lolos dari taklif, sehingga ia terbebas dari beban keharusan untuk taat pada tata aturan serta konsekuensi fikih yang rigid itu.

Juga tidak dapat ditemukan aturan fikih yang mengikat mengenai bagaimana seharusnya seseorang menjalankan tidur. Begitu pula dalam kitab-kitab akhlak. Bimbingan-bimbingan moral yang berkenaan dengan tidur hanya mengurusi pra dan pasca; bagaimana seseorang selayaknya bersikap ketika ia hendak menuju tidur dan ketika ia baru saja terbangun. Sementara mengenai bagaimana proses tidur itu sendiri harus dijalankan, tidak pernah ada yang secara khusus mengaturnya.

Hal ini jelas tidak mengherankan, sebab yang mengherankan itu justru jika sebaliknya. Memberikan nasihat tentang bagaimana seharusnya "menjalankan tidur" adalah perbuatan yang sia-sia belaka. Sebab peristiwa tidur tak pernah menjadi peristiwa yang penuh dengan kesadaran, dan oleh karena itu menaati nasihat—atau bahkan aturan yang mengikat—di tengah kondisi tidur merupakan hal yang mustahil dilakukan. Maka peristiwa tidur biarlah menjadi momen kebebasan seseorang.

Namun, selain bahwa tidur itu memang didahului oleh bangun, sepanjang apapun waktu tidur—kalau tidak mati—toh pada akhirnya mesti ada bangun kembali. Maka "bangun" yang pertama dan "bangun" yang kedua itulah yang menjadi bekal sekaligus fokus utama bagi mereka yang hendak menilai. Sebab, hanya runtutan konteks pra dan pasca inilah yang dapat membuat rangkaian prosesi tidur itu menjadi sah untuk dinilai. Apa ia ternyata mengandung nilai kebaikan; atau sebaliknya; ataukah seperti pada awalnya, ia cuma bernilai biasa saja, boleh-boleh saja, pantas-pantas saja, karena memang tak berkaitan erat dengan sesuatu lain yang vital dan siginifikan.

Terdapat beberapa produk fikih, dalam hal ini, yang mencoba untuk menetapkan status hukumnya secara ketat dan lumayan ruwet. Misalnya saja ketika tidur tersebut bertemu dengan konteks masuk-keluarnya waktu salat, para ulama berusaha untuk sedetil mungkin menjelaskan tata aturan dan konsekuensi fikih yang berlaku seputar itu.

Sebagai contoh, Ibn Hajar al-Haytami menuliskan dalam Tuhfatul Muhtaj, "Jika seseorang tidur setelah masuk waktu salat (dan ia belum melaksanakannya), maka jika kuat sangkaannya bahwa dia akan terbangun sebelum keluar waktu salat tersebut, dia tidak berdosa, meskipun jika (ketika ia bangun) waktu salat telah keluar (habis)."

Walau tidak sampai membuat orang tersebut berdosa, kasus seperti di atas tetap dihukumi makruh oleh al-Haytami, sebagaimana ia melanjutkan: "Akan tetapi, hal tersebut menjadi makruh bagi orang itu, kecuali jika kantuk telah menguasainya dan ia tak mampu menahannya. Dan apabila (orang yang tidur setelah masuknya waktu salat itu) tidak memiliki dugaan kuat bahwa dirinya dapat terbangun (sebelum keluarnya waktu salat), maka ia berdosa (hal itu menjadi haram baginya) dan orang lain yang mengetahui keadaan dirinya wajib untuk membangunkannya."

Begitulah fikih dengan segala rigiditasnya. Namun, dengan menampilkan contoh di atas, bukan kerumitan fikih itulah yang ingin saya tunjukkan, melainkan pembuktian bahwa yang dapat dijangkau oleh fikih hanyalah konteks pra dan pascatidur, dan bukan tidur itu sendiri.

Peristiwa tidur, seperti telah dibilang, merupakan momen kebebasan bagi setiap orang, meski pada sisi lain juga merupakan momen yang paling tidak bebas. Ia merupakan perayaan kebebasan bagi seseorang dalam arti terbebas dari segala bentuk aturan dan keharusan untuk menaatinya. Sementara pada saat yang sama, ia juga merupakan perisitiwa yang sangat memenjarakan, sebab seseorang menjadi tak memiliki kesadaran sekaligus kehendak atas dirinya sendiri.

Dengan segala macam "fakta" dan keunikan mengenai peristiwa tidur yang telah dipapar di atas, setidaknya kita dapat memahami suatu hal yang sangat sederhana. Yaitu bahwasanya hukum, sekeras dan seketat apapun itu, tetap tak memiliki daya yang cukup untuk sampai menjerat orang-orang yang tidur. Sebabnya juga sederhana, "hanya" perihal hilangnya kesadaran dan fungsi akal. Dan hukum tidak memiliki akses terhadap mereka yang berada di area sana.

Nah, apabila peristiwa tidur yang menghilangkan fungsi akal secara sementara itu saja telah sanggup melenyapkan otoritas hukum terhadapnya, bukankah gangguan kejiwaan yang parah juga sama saja?

---
Jum'at, 5 Juli 2019

No comments:

Post a Comment