Tuesday, February 13, 2018

Santri Zaman Now: Sebuah Harapan

Santri Zaman Now: Sebuah Harapan*
Oleh: Hilmi S. Fuadi, PC. IPNU Kab. Purwakarta

Ada yang bilang kata "santri" berasal dari kata "sastri", suatu padanan dari bahasa Sansekerta yang mengandung arti melek (cakap, paham) huruf. Ada juga yang mengatakan bahwa kata "santri" tersebut berasal dari kata "cantrik" yang berarti seseorang yang selalu mengikuti kiai ke mana pun beliau pergi. Ada lagi yang menganggap kata "santri" berasal dari bahasa Arab, tersusun dari huruf hijaiyah sin, nun, ta', dan ra'; lalu masing-masing dari huruf tersebut mengandung makna filosofis tersendiri yang mendalam. Walhasil, pendapat para ahli dalam menjabarkan asal-usul kata "santri" tidaklah seragam.

Selisih pendapat mengenai hal tersebut masih berjalan hingga kini, dan mungkin akan selalu berjalan tanpa menemui titik akhir. Hal ini disebabkan oleh terus berlanjutnya aktivitas penelitian terhadap sebuah komunitas yang juga lazim disebut "kaum sarungan" itu. Sebab, penelitian yang dilakukan berulang mungkin saja menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Maka perbedaan pendapat di atas dapat dikatakan wajar dan lumrah, sebagai bentuk dialektika pengetahuan mengenai makna "santri" itu sendiri. Namun demikian, terlepas dari perdebatan para ahli ihwal asal-usul kata "santri", saya akan menganggap kita telah sepakat bahwa "santri" selalu identik dengan "pesantren". Kiranya, dalam pemahaman kita, santri dan pesantren adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Sedang pesantren sendiri telah eksis sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagai suatu lembaga pendidikan, ia merupakan yang tertua di tanah Nusantara. Pesantren juga merupakan pemegang kendali atas penyebaran dan pelestarian ajaran Islam hingga kini. Dalam perkembangan sejarahnya yang teramat panjang itu, tentu saja pesantren telah mengalami banyak perubahan seiring dengan alur zaman yang berubah pula. Dalam menyikapi segala gejolak perkembangan zaman tersebut, ia dituntut untuk senantiasa bersifat fleksibel-adaptif, tak lain agar eksistensi dan gelinding relevansinya tetap terjaga dengan aman. Dan di sisi lain, pesantren pun akan segera memasang filter dan bersikap sangat eksklusif demi menjaga corak, tradisi dan nilai-nilainya yang khas, ketika gangguan yang mengancam dinilai telah serius dan melampaui batas.

Sungguh, mampu bertahan eksis dalam perjalanan kesejarahan yang panjang, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dilakukan. Proses jatuh-bangun dalam rangkaian perjalanan pun bukan lagi sesuatu yang tabu dialami oleh pesantren. Apalagi jika kita bicara konteks hari ini, ketika kita sedang bersiap-siap memasuki dasawarsa ketiga dari milenium ketiga ini, dinamika yang terjadi di kalangan kaum santri dan pesantren di Indonesia menjadi kian rumit dan kompleks. Ada harapan yang memuncak, ada juga pesimisme yang menjulang.

Tentu saja, pertemuan pesantren dengan globalisasi--sebagai dampak dari modernisasi--merupakan salah satu penyumbang utama terhadap munculnya gelombang kebingungan tersebut. Arus deras informasi; pertumbuhan super cepat di bidang teknologi; watak generasi milenial; degradasi moral; merupakan beberapa hal yang telah menjadi langganan dikeluhkan oleh segenap warga pesantren. Tetapi tidak melulu negatif dan pesimistis, segenap pranata yang ada di pesantren maupun masyarakat pada umumnya diam-diam juga menyimpan harapan dan optimisme yang besar terhadap kalangan santri dalam perkembangannya di zaman ini.

Zaman Now: Harapan, Usaha dan Potensinya

Pertama-tama, harus kita syukuri bahwa zaman now memiliki keunggulan yang luar biasa dalam hal keamanan dan kenyamanan. Mampu "lepas" dari kungkungan kolonialisme, dan kemudian "sukses" melakukan "reformasi" dari lapuknya orde baru, kedua hal tersebut merupakan suatu prestasi tersendiri yang tak dapat diingkari. Bagaimana tidak, mampu hidup aman dan tenteram adalah modal awal dalam rangkaian pelaksanaan pendidikan; termasuk di pesantren. Oleh sebab itu, maka komitmen kita untuk senantiasa menjaga dan mengisi kedaulatan serta kemerdekaan bangsa ini kiranya perlu dipertegas kembali. Semata-mata sebagai tanda syukur kita karena telah diberi keamanan dan ketenteraman hidup melalui wasilah merdekanya negeri ini.

Kita juga bisa melihatnya dengan lebih luas. Dalam konteks keislaman, tidak ada "negara muslim" yang saat ini lebih aman daripada Indonesia tercinta ini. Hampir semua negara yang mayoritas penduduknya muslim sedang dilanda badai konflik. Dan hanya Indonesialah yang tersisa. Meskipun kita tahu belakangan ini banyak menghadapi letupan ketegangan, Indonesia tetaplah merupakan negara yang cenderung paling aman dan stabil jika dibanding dengan "negara-negara muslim" yang lainnya. Maka sekali lagi, kita harus bisa mencintai dan menjaga Indonesia ini dengan sepenuh hati sebagai wujud nyata dari rasa syukur kita.

Kondisi yang cukup aman dan nyaman ini juga sudah seharusnya kita sadari sebagai bekal utama dalam menjalankan misi kepesantrenan ini. Bayangkan saja, negara-negara di Timur-Tengah yang sedang berkelahi itu, apakah pendidikannya bisa berjalan dengan baik? Rasanya mustahil. Oleh sebab itu, berkaca dengan saudara kita di sana, maka kondisi aman di sini haruslah kita manfaatkan sebaik-baiknya, bukan malah menjadikan kita berleha-leha. Malah, kalau dilihat dengan pembacaan seperti demikian, para lulusan studi keislaman di Indonesia seharusnya jauh lebih bermutu daripada produkan Timur-Tengah sana. Sebab, dilatarbelakangi oleh konfliknya itu, situasi kegiatan belajar-mengajar di sana menjadi jauh dari kata kondusif. Jauh tertinggal dengan kondisi kita saat ini di sini.

Selanjutnya, selain memanfaatkan situasi aman dan nyaman ini, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah penguatan watak dan karakter kesantrian yang menjadi identitas khasnya. Konten moralitas seperti rendah hati, jujur, amanah, gaya hidup sederhana, penyerahan total kepada Yang Maha Kuasa, dan corak dasar kesantrian (ranah sufistik) lainnya amat penting diteguhkan kembali dalam konteks zaman now ini. Soalnya, dalam merespon perkembangan (paska-)modernitas ini, sudah menjadi syarat mutlak bagi santri agar memiliki watak dan karakter kesantrian yang kuat. Keteguhan moral tersebut diperlukan agar kita tidak terombang-ambing di tengah pusaran kekacauan yang dahsyat ini. Di tengah maraknya tren pergaulan bebas, gaya hidup hedonisme, konsumerisme, dan lain sebagainya itu, santri harus tetap menjaga kesantriannya yang sejati.

Namun, kendati demikian, di sisi lain santri juga harus memiliki kemampuan beradaptasi dengan baik. Karakter kesantrian yang kuat tidak boleh menjadikan kita fanatik dan tertutup terhadap kebenaran di luar kita. Konkretnya, dengan segala kemudahan prasarana, kelengkapan fasilitas dan kecanggihan teknologi yang ada, para santri zaman now diharapkan dapat mendaya-gunakannnya dengan optimal-proporsional. Sebab, produk modernitas bukan untuk dijauhi seluruhnya. Tetapi ia justru harus dicerna, dilobi dan diajak bersinergi bergandengan tangan dengan nilai dan tradisi salaf agar pesantren dapat menghasilkan sumber daya yang berkualitas luhur pada kedua sisi sekaligus; yaitu duniawi dan ukhrawi.

Lebih mendalam, selain tanggung jawab penghambaan kepada Sang Pencipta, lulusan pesantren juga mempunyai tanggung jawab sosial yang besar. Tidak hanya harus rajin beribadah dan berakhlak mulia, para lulusan pesantren harus mampu berperan dalam pengisian ruang-ruang kosong yang terdapat di masyarakat. Sebenarnya, hal ini juga merupakan upaya pengimplementasian amanat Allah Swt. kepada manusia sekalian; agar mampu menjadi ummatan wasathan dan khalifah fil-ardl.

Maka usaha konkret untuk memperluas wilayah garapan santri tersebut menjadi penting untuk segera dilakukan; bahwa santri harus juga terjun menekuni ilmu-ilmu eksak dan sosial, di samping pula mendalami ilmu tajwid dan tauhid. Itu harus dilakukan tidak lain agar jebolan pesantren di masa yang akan datang dapat mengisi seluruh sendi kehidupan sebagaimana dimaksud di atas. Sebab, mentalitas dan ruh kesantrian amat dibutuhkan oleh peradaban ini. Para pemeran peradaban, dimulai dari penguasa politik, dokter, petani, pengusaha, aparat keamanan, sosiolog, dan lain sebagainya, haruslah memiliki landasan moral dan ruh spiritual yang dimiliki oleh kaum santri. Karena tanpanya, peradaban ini hanya akan semakin kering dan rusak. Tak heran bila kiamat pun semakin mendekat.

Alergi terhadap "ilmu umum" yang seringkali didapati di segenap kaum santri harus segera dihilangkan. Karena hal itu hanya akan menimbulkan kepincangan pada kualitas SDM jebolan pesantren. Sejak ilmu nahwu, tasawwuf, hingga ilmu eksakta, sosial dan humaniora haruslah dianggap sama pentingnya. Karena dengan bekal itulah para santri akan dapat menyumbangkan kontribusinya masing-masing di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, kita juga tidak dapat memungkiri bahwa untuk menguasai keseluruhan cabang ilmu tersebut secara sekaligus pastilah sangat sulit (jika tidak boleh dikatakan mustahil).

Maka dari itu, hal yang mungkin dapat kita lakukan adalah mengoptimalkan seluruh potensi dan daya ikhtiar serta melakukan pengarahan minat dan bakat secara serius dan disiplin, bukan hanya formalitas belaka. Rekan-rekan santri yang memiliki minat besar terhadap pertanian, misalnya, haruslah mendapat perhatian dan bimbingan yang cukup, selain juga dibimbing dan dibekali dengan dasar-dasar ajaran keislaman. Ia yang memiliki jiwa ekonom pun harus mendapatkan perhatian khusus dalam bidang ekonomi. Ia yang punya bakat komputer, seni, sains, bahasa, dan lain sebagainya, juga harus mendapatkan porsi yang serupa.

Atau juga bagi para santri yang memang tekun mendalami cabang ilmu "keagamaan", dengan segala perangkat teknologi yang ada ditambah kelengkapan kitab turats yang sudah sangat komplit dan mudah dijumpai, maka seharusnya cita-cita untuk menghasilkan produk jempolan setingkat ulama terdahulu tidak lagi menjadi suatu hal yang mustahil. Tinggallah pertanyaannya adalah: adakah kemauan kita?

Kekhawatiran dan Tantangan

Walaupun masih terlalu singkat, kiranya uraian di atas dapat mewakili sebagian ide dan gagasan yang ingin saya sampaikan. Dan namanya ide, ia akan selalu lebih manis daripada realita. Untuk menuju realisasi ide tersebut, saya kira perjalanan kita masihlah sangat jauh. Mengingat bahwa fakta yang bergulir di lapangan, kita masih saja terundung oleh hal-hal teknis; kurangnya komunikasi antar-pranata yang berperan; tiadanya kesamaan visi; dan hal lain yang tetek-bengek itu. Namun meskipun demikian, setidaknya kita sudah memiliki modal awal dalam menyongsong suatu perubahan: yaitu kesadaran bahwa kita perlu berubah.

Dan di setiap perjalanan menuju perubahan pastilah ditemukan berbagai kendala dan rintangan. Belum lagi, rintangan dan ancaman-ancaman lain yang memang telah ada sejak sebelumnya. Dan pada mulanya saya bermaksud untuk menuliskan sebagian ancaman dan rintangan tersebut di sini. Seperti gejala pergeseran orientasi di kalangan santri, kecenderungan orang tua, penyakit generasi milenial, dan lain sebagainya. Namun, karena berbagai keterbatasan, saya akan mencoba untuk langsung saja pada intinya. Yaitu, bahwa rintangan terbesar yang sedang dan akan selalu kita hadapi adalah: malas. Dan karena saya yakin bahwa kita semua sudah mafhum, kiranya tidak perlu ada lagi penjelasan lebih lanjut tentang itu.

Akhirnya, dengan nuansa pergantian tahun seperti ini, semoga bukan hanya kalender saja yang berganti. Ada kesucian hati, pola pikir, tingkah laku, dan tekad serta semangat kita yang juga perlu diperbarui. Selamat tahun baru!

Wallaahu a'lamu bish-shawaab.

-----
Daftar Bacaan:
KH. Ahmad Baso, Pesantren Studies
KH. Sa'id Aqil Siroj, Tasawwuf sebagai Kritik Sosial
KH. Musthafa Bisri, Saleh Ritual Saleh Sosial
KH. Musthafa Bisri, Agama Anugerah Agama Manusia
KH. Musthafa Bisri, Aku Manusia
KH. Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela
KH. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita
KH. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur

-----
*Ditulis untuk dan diterbitkan oleh majalah MA YPPA edisi Januari 2018

Saturday, February 3, 2018

Tafsir Alternatif: Menjadi Manusia Kalam

Apa itu kalam? Di dalam matan al-Ajurrumiyyah (buku dasar tata bahasa Arab), Syaikh Muhammad Ash-Shanhaji menerangkan bahwa kalam adalah suatu kesatuan dari terkumpulnya empat syarat. Yaitu, lafadzh; tarakkub; faidah; dan wadl'. Sebenarnya, saya teramat yakin para pembaca sekalian sudah sangat mafhum dengan hal tersebut. Namun pada kesempatan ini, saya ingin membagikan sebuah tafsiran berbeda yang saya terima dari salah seorang guru. Barangkali, jika kita renungkan dengan sudut pandang yang berbeda, mungkin saja ada hal lain yang berbeda pula, yang semoga dapat bermanfaat juga.

Dalam rangka mewujudkan kalam itu, pertama-tama haruslah kita hadirkan syarat yang pertama; yaitu lafadzh. Jika mengecek hafalan kita yang biasa, maka lafadzh adalah: suara yang mengandung huruf hijaiyah. Atau, ajengan di Sunda acap kali memberi makna sederhana terhadap "lafadzh" itu dengan menyebutkan "suara dan aksara". Adapun secara bahasa, lafadzh sebenarnya memiliki makna asal "membuang" atau "mengeluarkan".

Jika kita dapat merenungkannya lebih dalam, akan kita pahami bahwa lafadzh juga bisa diartikan sebagai buah karya, tenaga, budi daya atau hasil pemikiran yang dihasilkan dan dikeluarkan. Dan tidak hanya lafadzh, manusia juga seperti itu. Ia harus menjadi lafadzh. Ia harus menjadi suara dan aksara. Ia harus bekerja menghasilkan suatu karya. Apapun karyanya itu, manusia tidak dipaksa untuk mengerjakan sesuatu di luar kemampuan dan bakatnya masing-masing. Namun suatu hal yang telah jelas dan kita sepakati, bahwa seluruh manusia pasti memiliki potensi untuk menghasilkan karya.

Namun, tidak berhenti pada bekerja dan berkarya saja. Untuk menjadi kalam, harus pula kita penuhi syarat kedua; yakni tarakkub (murakkab). Seketika akan kita ingat definisi standarnya, yaitu: sesuatu yang tersusun dari dua atau lebih. Dari hal ini, maka kalam diharuskan memiliki (minimalnya) dua komponen lafadzh yang tersusun. Ia tidak bisa berdiri sendirian. Setidaknya, ia membutuhkan dua lafadzh yang tersusun dan terorganisir.

Dan dengan pengertian seperti itu, maka adanya keharusan tarakkub juga bisa memberi arti bahwa kalam adalah harmonisasi dari (minimalnya) dua lafadzh yang berbeda. Kalam merupakan sinergi dari beberapa pihak yang berbeda satu sama lain. Pada konteks manusia sebagai makhluk sosial, kita tak dapat hidup dan bekerja sendirian. Kita butuh dan harus ber-tarakkub dengan pihak yang lain, pihak di luar kita.

Mungkin saja, sosok Tarzan mampu hidup sendirian di hutan sana. Ia dapat bertahan hidup tanpa berinteraksi dengan manusia lain. Namun, tetap saja ia berinteraksi dengan pihak di luar dirinya sendiri. Ia membutuhkan udara, makanan, dan monyet sebagai teman. Artinya, interaksi itu tetaplah ada, meski tidak dengan manusia. Lagi pula, tanpa berinteraksi dengan manusia lain, Tarzan mungkin saja bisa hidup; ia boleh jadi merupakan lafadzh. Tapi tidak untuk menjadi kalam.

Selanjutnya syarat yang ketiga, yaitu faidah. Lafadzh yang menjadi komponen kalam di atas tidak hanya diharuskan untuk berumbuk dan berharmoni, tidak hanya berjejer bekerja sama. Melainkan juga kerja sama tersebut dituntut untuk memberikan arti dan manfaat yang nyata bagi pihak lain. Sinergitas atau kekompakkan yang dibangun oleh beberapa lafadzh itu haruslah menghasilkan faidah, bukan justru menjadi bahaya yang merugikan dan mencelakakan. Ringkasnya, lafadzh yang tersusun itu harus mampu menjadi rahmat bagi masyarakat. Ia harus mengatasi berbagai permasalahan yang ada, bukan justru menambahnya.

Lalu, syarat yang terakhir adalah wadl'u. Biasanya, dalam pembahasan ilmu nahwu, terdapat perbedaan dalam memahami wadl' di sini. Sebagian ulama berpendapat bahwa wadl'u di sini bermakna "menggunakan bahasa Arab", sedangkan sebagian yang lain meyakini bahwa wadl'u di sini bermakna "qashdu"; yakni sadar dan bertujuan. Merujuk pada pendapat yang kedua, maka kalam harus memiliki landasan kesadaran dan tujuan yang konkret. Kalam tidak bisa berdiri dari ketidaksadaran, juga tidak bisa bergerak jika tanpa tujuan.

Lebih lanjut, apabila kita tilik kembali makna asalnya, wadl'u dapat bermakna tempat atau posisi. Bila makna tersebut dihubungkan dengan manajemen organisasi, maka syarat wadl'u di sini berarti lafadzh-antar-lafadzh harus memiliki peran dan posisinya masing-masing, serta bersikap proporsional-profesional dengan perannya tersebut. Kalam tidak bisa terwujud jika susunan lafadzh yang ada mengalami simpang siur dan tumpang tindih. Sebab, dengan syarat wadl'u ini, lafadzh-lafadzh tersebut perlu memiliki porsi kerja yang jelas dan harus sadar akan porsinya tersebut.

Dan jika kita tarik lagi lebih jauh, menukik ke langit memuncak ke dalam, perihal wadl'u tersebut harus pula ditanyakan dengan sungguh-sungguh kepada diri kita sendiri. Sebagai manusia, apa dan bagaimanakah wadl'u kita? Pejamkan mata dan tahanlah napas barang sebentar. Hembuskan pelan-pelan, sadarlah diri kita bahwa kita (manusia) adalah khalqullah (ciptaan-Nya) yang harus pula menjadi 'abdullah (menghamba kepada-Nya). Lalu, pada puncaknya, kita sebagai manusia juga diamanatkan untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, menjadi manifestasi dari kehendak-Nya di muka bumi ini!

Walhasil, akhirnya kita sadar bahwa syarat kalam yang dituangkan dalam Jurumiyah itu ternyata tidak sekadar berbicara tentang bahasa Arab. Jika direnungkan dalam-dalam, ternyata ia juga mengandung banyak pelajaran yang berguna bagi kehidupan nyata. Mungkin, beberapa poin dari tafsiran di atas bisa dianggap oleh sebagian orang sebagai cocoklogi semata. Tafsiran yang demikian hanyalah merupakan kelebayan-kelebayan belaka. Sebab, tafsiran itu begitu jauh dari koridor bakunya, yaitu pelajaran mengenai tata bahasa Arab.

Namun, yang jauh lebih penting dari perdebatan itu, adakah kita bisa memetik hikmah dan pelajaran dari tafsir alternatif tersebut? Dalam bahasa yang lebih taeun, mohon izinkan hamba bertanya kepada kita semua: mampukah kita memenuhi syarat agar menjadi "manusia kalam"?

Wallaahu a'lam bish-shawaab.

-----
Bunisari, 3 Peburari 2018

Tuesday, January 9, 2018

Kerudung

Masih teringat dalam benak komentar dari Kang Deni Ahmad Haidar, ketua PW Ansor Jabar saat ini, perihal fenomena kerudung dan kesejarahannya di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa pada tahun 80'an kerudung/jilbab itu bukanlah perkakas fashion yang umum digunakan oleh masyarakat luas. Pada saat itu, hanya segelintir kaum muslimatlah yang menggunakannya, yaitu mereka yang memang taat dan patuh terhadap ajaran agama, atau pada sesekali digunakan juga oleh kalangan pejabat dan kaum elit di saat menghadiri seremoni keagamaan. Itu pun tidak seperti saat ini. Model kerudung saat itu masih sangat sederhana, bahkan juga tak jarang orang yang menggunakannya dengan hanya diletakkan saja di kepala, bukan dililitkan hingga menutup dengan rapi.

Saya pun hanya bisa mengamini, toh saya memang tidak mengalaminya sendiri. Membayangkan betapa jarangnya tukang kerudung pada saat itu, ditambah lagi dengan sekelumit kondisi yang melingkupinya, pernyataan Kang Deni tersebut terasa masuk akal. Dan ternyata cerita Kang Deni itu bukanlah siulan belaka, mBah Gus Dur sejak jauh hari telah menuliskan hal yang senada. Pada salah satu tulisannya yang berjudul "Kerudung dan Kesadaran Beragama" (diterbitkan Tempo, 29 Januari 1983.), beliau telah menginformasikan hal yang kurang lebih sama.

Dalam tulisannya itu, Gus Dur menjadikan konflik penggunaan kerudung sebagai titik landas analisanya terhadap tumbuh-meluasnya benih kesadaran beragama di masyarakat--khususnya kalangan remaja--yang kemudian harus berhadapan dengan kultur kebijakan pemerintah yang pada saat itu "kurang mendukung".

Gus Dur mengangkat sebuah kasus siswi SMA yang menggunakan kerudung di lingkungan sekolah, lalu kemudian dikeluarkan dari sekolahnya itu dengan dalih telah melakukan tindakan indisipliner--sebab menggunakan kerudung merupakan pemandangan yang tabu di lingkungan sekolah saat itu. Setidaknya terdapat dua hal yang Gus Dur kemukakan dari kasus tersebut, yaitu tumbuhnya kesadaran beragama di kalangan remaja dan reaksi dari pemilik kebijakan (dalam hal ini sekolah sampai menterinya) yang cenderung bersikap uniformistik; ingin menyeragamkan segala sesuatu dan tak merestui adanya hal baru yang berbeda.

Ihwal kecenderungan terhadap uniformitas yang dilakukan oleh pihak sekolah ini tentu saja dapat dimengerti, sebab penguasa pada saat itu adalah Orba. Namun pada sisi yang satunya, yaitu perihal kesadaran beragama yang mulai marak di kalangan remaja waktu itu, saya rasa pengamatan Gus Dur saat itu masih relevan hingga sekarang. Gus Dur secara lebih jauh juga menyebutkan banyaknya sebab yang melatar belakangi terjadinya hal tersebut. Tidak hanya menilai itu sebagai proses kesalehan; sebagai sebuah usaha dari sementara pemeluk agama agar dapat menjalankan tuntunan agamanya dengan tuntas, beliau juga menyebutkan bahwa hal itu disebabkan oleh kekecewaan para remaja terhadap realitas kaum muslimin yang semakin terbelakang.

Bangkrutnya teknologi dan ilmu pengetahuan modern, yang kemudian membuat imbas pada sekaratnya perekonomian, dan itu berarti melestarikan ketidakmampuan dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada serta mengundang jutaan masalah lainnya, disebutkan Gus Dur dalam daftar kekecewaan para remaja imut itu. Bahkan, kekecewaan remaja muslim itu, lanjut Gus Dur, menjalar lebar hingga pada kekecewaan terhadap kegagalan elit kaum muslimin di pentas dunia yang dinilai gagal menghadapi berbagai tantangan "pihak luar" terhadap Islam.

Dari sekian rentetan kekecewaan itulah, ditambah dengan banyak sebab lainnya, kesadaran remaja muslim akhirnya terpantik untuk segera mengambil peran dalam menjalankan agama yang dianutnya secara "benar dan tuntas". Maka kemudian kesadaran tersebut segera dinyatakan dan disimbolisasi dengan "menggunakan kerudung ke sekolah", meski pada waktu itu masih merupakan hal yang sangat tabu.

Namun, Gus Dur dalam tulisannya tersebut tidak membahas lebih dalam ihwal valid atau tidaknya "kebenaran" yang diyakini dan dilakukan oleh para remaja itu. Ia terkesan lebih menganggap perilaku siswi SMA itu sebagai aspirasi dari sekian penganut agama agar dapat menjalankan agamanya di negeri sendiri. Dalam tulisannya tersebut, Gus Dur justru lebih mempertanyakan reaksi pihak sekolah yang sampai mengeluarkan siswanya hanya karena menggunakan pakaian yang "tidak wajar".

Saya merasa gejala “pubertas/kesadaran beragama" yang muncul di segenap remaja itu masih berlanjut--bahkan kian marak?--hingga kini. Ekspresinya pun menjadi semakin kompleks dan kreatif, tidak sebatas "menggunakan kerudung ke sekolah". Dan jika diingat, kerudung pun kini tak lagi akrab disebut kerudung. Ia berkembang istilah menjadi jilbab, hijab, dan lain-lain yang meminjam istilah dari Arab itu (ada juga yang kemudian dibubuhi label "syar'i"). Modelnya juga tak lagi sesederhana yang digambarkan oleh Kang Deni atau Gus Dur. Saat itu, nilai estetikanya hanya sebatas pada ragam warna, atau hiasan renda/sulaman. Sedangkan kini, varian model kerudung yang nama-namanya sulit saya hafal itu telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan, terbukti dengan berserakannya tukang kerudung di internet, sepaket dengan video tutorial memakainya.

Sekelumit fenomena kerudung yang berkembang hari ini, hemat saya, tak dapat lagi hanya dilihat sebagai aspirasi atau ekspresi keagamaan semata. Dengan macam-macam modelnya yang semakin berkembang itu, maka ia lebih cocok dikatakan sebagai kreatifitas budaya serta kegiatan ekonomi. Atau bahkan, ia dapat dikatakan sebagai simbol dari krisis identitas yang kita alami, manakala istilahnya telah berubah telak menjadi hijab.

Barangkali, letupan semangat beragama yang kini dialami oleh remaja zaman now telah berhasil melampaui sebatas penggunaan kerudung saja. Ia bertransformasi mencari wajah-wajah lain yang serupa. Ketika kampanye kerudung telah dianggap sukses dan jamak dikenakan, maka dapat kita lihat letupan kesadaran itu menjalar kepada maraknya slogan-slogan "relijius" semacam "Gerakan Shalat Shubuh Berjama'ah" atau "Indonesia Tanpa Pacaran", atau juga dapat dilihat dengan digemarinya ustadz-ustadz muda, gaul dan kece, atau pula dengan penuh-sesaknya acara gebyar shalawat di malam Minggu. Lebih jauh, para remaja yang mengikuti demo bertajuk agama atau bahkan mereka yang berteriak jihad dan khilafah juga dapat dikatakan sebagai simbol dari adanya kesadaran dan semangat beragama itu.

Kita dapat berdiskusi lebih lanjut mengenai validitas dari setiap “ekspresi-ekspresi keagamaan” macam di atas. Apakah semangat beragama yang menyemai menjadi ekspresi-ekspresi di atas telah sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, ataukah tidak? Namun yang jelas, setidaknya kaum remaja itu telah memiliki kesadaran dan semangat untuk menegakkan agamanya. Dan perihal remaja, kembali mengutip Gus Dur, "Mereka adalah generasi yang melihat segala sesuatu dengan serius, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkannya."

----

Catatan: Penulis merupakan remaja yang mencoba untuk tidak serius-serius amat.

----

Cipulus, 9 Januari 2018