Saturday, February 3, 2018

Tafsir Alternatif: Menjadi Manusia Kalam

Apa itu kalam? Di dalam matan al-Ajurrumiyyah (buku dasar tata bahasa Arab), Syaikh Muhammad Ash-Shanhaji menerangkan bahwa kalam adalah suatu kesatuan dari terkumpulnya empat syarat. Yaitu, lafadzh; tarakkub; faidah; dan wadl'. Sebenarnya, saya teramat yakin para pembaca sekalian sudah sangat mafhum dengan hal tersebut. Namun pada kesempatan ini, saya ingin membagikan sebuah tafsiran berbeda yang saya terima dari salah seorang guru. Barangkali, jika kita renungkan dengan sudut pandang yang berbeda, mungkin saja ada hal lain yang berbeda pula, yang semoga dapat bermanfaat juga.

Dalam rangka mewujudkan kalam itu, pertama-tama haruslah kita hadirkan syarat yang pertama; yaitu lafadzh. Jika mengecek hafalan kita yang biasa, maka lafadzh adalah: suara yang mengandung huruf hijaiyah. Atau, ajengan di Sunda acap kali memberi makna sederhana terhadap "lafadzh" itu dengan menyebutkan "suara dan aksara". Adapun secara bahasa, lafadzh sebenarnya memiliki makna asal "membuang" atau "mengeluarkan".

Jika kita dapat merenungkannya lebih dalam, akan kita pahami bahwa lafadzh juga bisa diartikan sebagai buah karya, tenaga, budi daya atau hasil pemikiran yang dihasilkan dan dikeluarkan. Dan tidak hanya lafadzh, manusia juga seperti itu. Ia harus menjadi lafadzh. Ia harus menjadi suara dan aksara. Ia harus bekerja menghasilkan suatu karya. Apapun karyanya itu, manusia tidak dipaksa untuk mengerjakan sesuatu di luar kemampuan dan bakatnya masing-masing. Namun suatu hal yang telah jelas dan kita sepakati, bahwa seluruh manusia pasti memiliki potensi untuk menghasilkan karya.

Namun, tidak berhenti pada bekerja dan berkarya saja. Untuk menjadi kalam, harus pula kita penuhi syarat kedua; yakni tarakkub (murakkab). Seketika akan kita ingat definisi standarnya, yaitu: sesuatu yang tersusun dari dua atau lebih. Dari hal ini, maka kalam diharuskan memiliki (minimalnya) dua komponen lafadzh yang tersusun. Ia tidak bisa berdiri sendirian. Setidaknya, ia membutuhkan dua lafadzh yang tersusun dan terorganisir.

Dan dengan pengertian seperti itu, maka adanya keharusan tarakkub juga bisa memberi arti bahwa kalam adalah harmonisasi dari (minimalnya) dua lafadzh yang berbeda. Kalam merupakan sinergi dari beberapa pihak yang berbeda satu sama lain. Pada konteks manusia sebagai makhluk sosial, kita tak dapat hidup dan bekerja sendirian. Kita butuh dan harus ber-tarakkub dengan pihak yang lain, pihak di luar kita.

Mungkin saja, sosok Tarzan mampu hidup sendirian di hutan sana. Ia dapat bertahan hidup tanpa berinteraksi dengan manusia lain. Namun, tetap saja ia berinteraksi dengan pihak di luar dirinya sendiri. Ia membutuhkan udara, makanan, dan monyet sebagai teman. Artinya, interaksi itu tetaplah ada, meski tidak dengan manusia. Lagi pula, tanpa berinteraksi dengan manusia lain, Tarzan mungkin saja bisa hidup; ia boleh jadi merupakan lafadzh. Tapi tidak untuk menjadi kalam.

Selanjutnya syarat yang ketiga, yaitu faidah. Lafadzh yang menjadi komponen kalam di atas tidak hanya diharuskan untuk berumbuk dan berharmoni, tidak hanya berjejer bekerja sama. Melainkan juga kerja sama tersebut dituntut untuk memberikan arti dan manfaat yang nyata bagi pihak lain. Sinergitas atau kekompakkan yang dibangun oleh beberapa lafadzh itu haruslah menghasilkan faidah, bukan justru menjadi bahaya yang merugikan dan mencelakakan. Ringkasnya, lafadzh yang tersusun itu harus mampu menjadi rahmat bagi masyarakat. Ia harus mengatasi berbagai permasalahan yang ada, bukan justru menambahnya.

Lalu, syarat yang terakhir adalah wadl'u. Biasanya, dalam pembahasan ilmu nahwu, terdapat perbedaan dalam memahami wadl' di sini. Sebagian ulama berpendapat bahwa wadl'u di sini bermakna "menggunakan bahasa Arab", sedangkan sebagian yang lain meyakini bahwa wadl'u di sini bermakna "qashdu"; yakni sadar dan bertujuan. Merujuk pada pendapat yang kedua, maka kalam harus memiliki landasan kesadaran dan tujuan yang konkret. Kalam tidak bisa berdiri dari ketidaksadaran, juga tidak bisa bergerak jika tanpa tujuan.

Lebih lanjut, apabila kita tilik kembali makna asalnya, wadl'u dapat bermakna tempat atau posisi. Bila makna tersebut dihubungkan dengan manajemen organisasi, maka syarat wadl'u di sini berarti lafadzh-antar-lafadzh harus memiliki peran dan posisinya masing-masing, serta bersikap proporsional-profesional dengan perannya tersebut. Kalam tidak bisa terwujud jika susunan lafadzh yang ada mengalami simpang siur dan tumpang tindih. Sebab, dengan syarat wadl'u ini, lafadzh-lafadzh tersebut perlu memiliki porsi kerja yang jelas dan harus sadar akan porsinya tersebut.

Dan jika kita tarik lagi lebih jauh, menukik ke langit memuncak ke dalam, perihal wadl'u tersebut harus pula ditanyakan dengan sungguh-sungguh kepada diri kita sendiri. Sebagai manusia, apa dan bagaimanakah wadl'u kita? Pejamkan mata dan tahanlah napas barang sebentar. Hembuskan pelan-pelan, sadarlah diri kita bahwa kita (manusia) adalah khalqullah (ciptaan-Nya) yang harus pula menjadi 'abdullah (menghamba kepada-Nya). Lalu, pada puncaknya, kita sebagai manusia juga diamanatkan untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, menjadi manifestasi dari kehendak-Nya di muka bumi ini!

Walhasil, akhirnya kita sadar bahwa syarat kalam yang dituangkan dalam Jurumiyah itu ternyata tidak sekadar berbicara tentang bahasa Arab. Jika direnungkan dalam-dalam, ternyata ia juga mengandung banyak pelajaran yang berguna bagi kehidupan nyata. Mungkin, beberapa poin dari tafsiran di atas bisa dianggap oleh sebagian orang sebagai cocoklogi semata. Tafsiran yang demikian hanyalah merupakan kelebayan-kelebayan belaka. Sebab, tafsiran itu begitu jauh dari koridor bakunya, yaitu pelajaran mengenai tata bahasa Arab.

Namun, yang jauh lebih penting dari perdebatan itu, adakah kita bisa memetik hikmah dan pelajaran dari tafsir alternatif tersebut? Dalam bahasa yang lebih taeun, mohon izinkan hamba bertanya kepada kita semua: mampukah kita memenuhi syarat agar menjadi "manusia kalam"?

Wallaahu a'lam bish-shawaab.

-----
Bunisari, 3 Peburari 2018

No comments:

Post a Comment