Thursday, September 12, 2019

Masa Depan dan Masa Lalu

Apa daya kita saat berhadapan dengan masa lalu? Manis, pahit, asem dan hambarnya hanya dapat kita terima dan syukuri sebagai sesuatu yang 'telah' terjadi. Sekuat dan sehebat apapun seseorang, masa lalunya tak bisa ia tolak maupun hindari. Bagaimanapun, masa lalu tetap telah dan telah terjadi.

Katakanlah bahwa sejarah dimiliki oleh pemenang. Anggap saja demikian, orang-orang berkuasa bisa saja merekayasa sejarah. Tetapi yang mereka reka dan ciptakan tak lain hanya cerita dan dongengnya saja. Momen sejarahnya tetap tak mungkin diganti. Ia persis presisi dan bersifat pasti karena telah terjadi. Ia pun menjadi sakral sebab setiap peristiwanya hanya terjadi satu kali.

Di sudut yang lain, kita mampu berbicara apa saja tentang masa depan. Kita bisa menciptakan angan-angan maupun ramalan. Kita senang melakukan itu, karena masa depan dapat direncanakan dan diusahakan. Apalagi jika pandangan kita terhadap hidup melulu dilandaskan pada konsep utilitarian; asas faedah dan kegunaan. Jelas saja berbincang mengenai masa depan dinilai jauh lebih bermanfaat, katanya, ketimbang berbicara masa lalu.

Misalnya saja, tentang Indonesia, ada yang mengungkapkan harapan dengan mengatakan bahwa Indonesia akan berjaya pada tahun sekian. Di sisi yang lain, ada pula yang mengutarakan kekhawatiran dengan merapalkan bahwa justru Indonesia bisa saja bubar pada tahun sekian. Baik ini maupun itu, semuanya boleh dan sah-sah saja karena nilainya cuma prediksi. Seilmiah apapun metodologi yang dipakai ketika menguraikan masa depan, ia tetap tidak lebih dari sebuah ramalan yang nantinya bisa saja dibantah oleh kenyataan.

Namun begitu, bagi pandangan utilitarian dan gulir peradaban yang selalu maju ke depan, prediksi dan ramalan semacam itu tetap saja diperlukan. Ditambah lagi jika berkaitan dengan hal yang serius seperti negara, dengan ketidakmampuan orang-orang modern untuk bersikap secara lebih spontan, mereka amat membutuhkan perencanaan. Semuanya diamati, diukur, diperhitungkan, dirancang dan dicanangkan. Barulah kemudian diupayakan realisasi.

Meski sebenarnya mereka pun sadar bahwa rencana secanggih apapun selalu saja tak mampu menghimpun realitas masa depan secara utuh, hal-hal metodik ini tetap mereka junjung dan laksanakan. Sebab, betapapun rencana itu pasti menyisakan keluputan, rencana tetaplah rencana yang berfungsi sebagai pedoman. Dalam perjalanan menyambangi masa depan, kita setidaknya dapat meminta bantuan kemampuan akal untuk memberikan arah serta mengingatkan akan tujuan.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan di hadapan masa lalu? Selain menerima, rela dan bersyukur.