Wednesday, July 10, 2019

MESIN ATM

Begitu tahu ada kiriman, detik itu pula aku segera berganti kostum. Yang semulanya cuma sarungan, seketika berubah menjadi celana lepis yang kece. Bukannya aku gengsi pergi ke ATM dengan menggunakan sarung. Kau sendiri pun tahu betapa aku sangat nyaman sarungan. Hanya saja, budaya di tempat sekarang aku berada tak menganggap sarungan di jalanan sebagai peristiwa yang biasa-biasa. Bagi penduduk setempat, penggunaan sarung di tempat umum malah cenderung dianggap aib.

Aku pun keluar flat dan bergegas menuruni tangga. Setelah empat kali putaran tangga aku tempuh, akhirnya sampai juga di lantai dasar. Aku masih saja terengah-engah walau seharusnya sudah terbiasa menuruni tangga sebanyak itu. Kini, aku masih membutuhkan nafas dan tenaga untuk menyusuri jarak sekitar setengah kilometer menuju tempat di mana mesin penarikan uang itu berada. Aku tak sabar.

Meski dengan nafas yang lumayan terengah-engah, aku tetap mempercepat langkah kakiku. Atau sesekali langkahku melambat kala di depanku ada ibu-ibu. Kucari celah, lalu menyalip dan jalanan di depan pun kembali luang. Aku kembali ngebut. Barangkali orang-orang berpikiran aku ini sedang kebelet, aku tak peduli. Aku memang kebelet ingin duit.

Tempat yang kutuju kian dekat. Aromanya sudah di ujung hidung. Tandanya mudah saja; aku sudah melewati warung makanan favoritku dan--seperti biasa--aroma dari dapurnya selalu memikat. Hatiku bersumpah akan membeli makanan itu, barang seporsi besar atau dua porsi sedang untuk kubawa ke flat dan kumakan bersama teman-teman, nanti di waktu pulang ketika uang sudah di tangan.

Akhirnya sampai juga. Aku membetulkan ritme nafasku. Matahari memicing galak di langit sana. Keringat di wajah kusapu dengan tangan. Aku mengantre, menunggu seseorang lain yang sedang menggunakan jasa mesin ajaib itu. Aku pun merogoh saku belakang, di mana dompetku biasanya aku simpan.

Ah kampret! Dompet beserta kartu ATM milikku ada di celana yang satunya lagi..

No comments:

Post a Comment